Ratu Cinta Dari Dasar Bumi

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Ibhuku elingu-9 · Pantera Publishing
3.0
2 izibuyekezo
I-Ebook
104
Amakhasi
Izilinganiso nezibuyekezo aziqinisekisiwe  Funda Kabanzi

Mayelana nale ebook

ORANG ini ternyata tidak bisa dikenali raut wajahnya. Dari kaki sampai rambut tertutup jubah terusan berwarna abu-abu. Pada bagian dadanya terlihat satu lukisan tengkorak yang berlumur darah. Tapi lukisan itu kini robek menganga tersambar tangan kanan Pendekar 131. Terpisah delapan langkah dari sosok berjubah abu-abu terusan aneh ini terlihat tegak seorang pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan pakaian warna hitam-hitam.


Si pemuda berbaju hitam memandang tak berkesip pada sosok di hadapannya. Dadanya terlihat berguncang keras. Mulutnya bergetar tanda menahan gejolak yang menyesaki hatinya. Untuk beberapa saat lamanya kedua orang ini sama tegak diam. Tapi sebenarnya diam-diam orang yang berjubah abu-abu terusan aneh membatin dalam hati.


“Aneh… Ada apa dengan Saraswati? Apa dia telah mengenal pemuda itu? Hemm… Paras wajahnya jelas membayangkan kecemasan dan khawatir! Aku juga heran. Anak ini selalu mengenakan kumis laksana seorang pemuda. Apa maksudnya dia selalu menyamar?”


“Ayah!” Mendadak pemuda berkumis tipis yang selama ini memperkenalkan diri dengan nama Raka Pradesa buka mulut. “Kau belum jawab pertanyaanku! Mengapa pemuda itu kau dorong jatuh ke dalam lobang?! Bukankah kau mengatakan bahwa lobang itu laksana penjara maut?”


Sosok berjubah abu-abu yang dipanggil ayah sejenak terdiam. Kepala dibalik jubah terusan itu tampak bergerak tengadah. Lalu terdengar ucapannya.


“Saraswati… Perjalanan waktu kelak yang akan menjawab pertanyaanmu! Sekarang aku tanya padamu. Kau mengenal pemuda itu?”


Mungkin karena masih belum dapat menguasai gejolak hatinya apalagi pertanyaannya tidak mendapat jawaban pasti, si pemuda berpakaian hitam-hitam yang dipanggil Saraswati menjawab.


“Kenal atau tidak kurasa tak perlu Ayah tanyakan. Bukankah jawaban pertanyaanku tidak usah menunggu waktu pun sudah jelas? Pemuda itu pasti mati! Jadi untuk apa menanyakan orang yang telah mati?!”


Orang berjubah abu-abu aneh gelengkan kepala. “Apakah kau telah termakan kabar diluaran sana, Saraswati? Kabar yang membuat banyak orang ingin membunuhku pada beberapa waktu belakangan ini karena menyangka akulah manusia yang akhir-akhir ini banyak turunkan tangan maut pada setiap orang?”


“Mula-mula aku memang tidak percaya dengan kabar yang tersiar! Tapi…” Saraswati sejenak putuskan ucapannya. Sambil tertawa pendek dia melanjutkan. “Kenyataan mau tak mau membuatku harus percaya kabar itu”


Ucapan bernada menuduh bukannya membuat orang berjubah abu-abu menjadi marah. Sebaliknya dia perdengarkan tawa pelan. Lalu berujar.


“Katakan kenyataan apa yang kau tahu!”


“Dia masih juga berpura-pura layaknya orang tak melakukan kesalahan. Padahal dia baru saja jumpa denganku di luar sana. Lalu tindakannya yang mendorong hingga Joko Sableng masuk ke dalam lobang. Hem…”


Diam-diam Saraswati membatin dalam hati. Lalu berkata. “Ayah! Sekarang jawab dengan jujur! Kenapa Ayah pura-pura tidak mengenalku waktu berjumpa tadi di luaran sana? Sandiwara apa sebenarnya yang sedang Ayah lakukan?!”


Seperti diketahui, saat pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam ini hendak berlalu karena tak tahan melihat Pendekar 131 sedang bermesraan dengan Puspa Ratri tiba-tiba muncul satu sosok mengenakan pakaian jubah abu-abu aneh yang juga menutupi sekujur tubuh orang dari kaki sampai kepala. Baik jubah, tegap tinggi serta suara orang itu sama persis dengan orang yang kini ada di hadapan Raka Pradesa alias Saraswati.


Anehnya, saat berjumpa di luar, orang yang berjubah abu-abu aneh itu layaknya orang tidak mengenal si pemuda. Meski saat itu Raka Pradesa alias Saraswati dibuncah berbagai tanya dan duga, namun saat itu dia menjawab semua pertanyaan orang walau dia hampir yakin jika orang itu bukan lain adalah ayahnya sendiri! Untuk beberapa lama orang di hadapan pemuda berkumis tipis tidak perdengarkan suara.


“Ayah! Mengapa Ayah diam?! Terus terang saja. Permainan apa yang sedang Ayah perbuat?” Saraswati buka mulut lagi. Lalu pemuda berkumis tipis ini angkat tangan kirinya. Kumis tipis yang melintang di atas bibirnya ditarik tanggal lalu rambutnya digeraikan sambil menggoyang-goyangkan kepala. Serta-merta wajahnya yang tadi menyerupai seorang pemuda berjubah menjadi paras seorang gadis cantik berambut panjang.


“Saraswati… Aku belum bisa jawab pertanyaanmu. Tapi satu hal yang harus kau ketahui, sudah berapa tahun belakangan ini aku tidak pernah lagi melihat dunia luar!”


“Aku tak mungkin keliru mengenalimu!” sahut Saraswati. “Dan karena kau tahu aku anakmu, kau pura-pura mengampuni nyawaku lalu menyuruhku pergi!”


“Siapa pun bisa mengenakan pakaian seperti yang kupakai, Saraswati”


“Kalau Ayah tidak mengakui, tak apa. Tapi sekarang aku melihat sendiri bagaimana kau membunuh orang dengan mendorongnya masuk ke dalam lobang itu. Apa jawaban Ayah?”


“Aku tidak berniat membunuhnya!”


Saraswati tertawa pendek. Tapi jelas nadanya getir. “Kalau hal yang kau lakukan itu tidak kau sebut satu pembunuhan, lalu apa namanya?”


“Sudah kukatakan tadi, perjalanan waktu yang akan menjawab!”


“Perjalanan waktu?1” ulang Saraswati. “Sampai kapan?! Padahal kita tidak tahu di mana berakhirnya waktu!”


“Ucapanmu benar, Saraswati. Kita tidak tahu di mana berakhirnya waktu. Tapi aku yakin waktu yang kita tunggu tidak lama. Percayalah. Semuanya nanti akan jelas. Termasuk jawaban yang kau katakan sebagai sandiwara…”


Saraswati tampak gelengkan kepalanya sambil bergumam. “Selama ini Ayah banyak menyembunyikan sesuatu padaku. Sampai masalah ibu pun Ayah masih tidak mau berterus terang. Sungguh malang nasibku!”


Saraswati angkat kedua tangannya lalu ditakupkan pada wajahnya. Sejenak kemudian bahu gadis cantik berambut panjang ini tampak berguncang. Lalu terdengar isakannya.


Sosok berjubah abu-abu tampak menghela napas dalam. “Kuharap kau memaafkan ayahmu, Saraswati. Semua ini kulakukan demi kebaikan…”


Saraswati turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya terlihat sayu. Dengan suara tersendat dia berucap. “Satu dalih yang enak didengar. Tapi tahukah Ayah. Ucapan itu membuatku makin menyesali nasib…”


Orang berjubah abu-abu kembali terlihat menarik napas dalam. Dadanya turun naik. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Anakku. Tapi jika kau tahu apa yang kurasakan justru lebih dari apa yang saat ini kau rasakan”


“Itu karena Ayah tidak mau berkata jujur. Hingga aku yang tidak tahu apa-apa harus ikut merasakannya. Ayah tahu. Selama ini aku menyamar karena aku ingin menyelidik apa yang selama ini Ayah sembunyikan. Agar aku lebih leluasa bergerak. Tapi sejauh ini yang kudapatkan hanya menambah derita hati. Apalagi tahu apa yang baru saja Ayah perbuat!”


“Saraswati… Kau jangan menduga terlalu jauh. Itu kulakukan juga untuk kebaikan pemuda itu sendiri…”


“Tidak! Ayah sebelumnya telah mengatakan padaku bahwa jika pemuda itu tak mau menjawab dengan jujur apa yang Ayah katakan maka keselamatannya tidak terjamin…”


Kepala di balik jubah abu-abu bergerak menggeleng. “Saraswati… Bukan aku yang mengatakan!”


Saraswati memandang tajam seakan ingin menembusi jubah yang menutupi wajah orang. Namun sejenak kemudian wajah gadis ini tertunduk. “Aku tak habis mengerti akan semua ini”


“Sayang, Anakku. Belum tiba saatnya untuk mengerti semuanya…”


Habis berkata begitu, orang berjubah abu-abu melangkah mendekati si gadis. Tapi akhirnya dia hanya dapat menghela napas panjang, karena bersamaan dengan itu Saraswati balikkan tubuh lalu berkelebat lenyap melewati lantai yang porak-poranda di bagian atas ruangan.


“Mudah-mudahan pemuda itu segera mengerti apa yang harus diperbuat hingga semuanya akan cepat berakhir!” gumam orang berjubah abu-abu lalu sosoknya berkelebat lewat lobang dimana tadi Saraswati lenyap.


**


Kita kembali dulu pada Pendekar 131 yang tubuhnya amblas masuk ke dalam lobang karena didorong oleh orang berjubah abu-abu. Sebenarnya murid Pendeta Sinting ini masih sempat mencekal jubah orang bagian dadanya. Namun karena sosoknya telah doyong ke belakang sementara yang tergapai hanya jubah orang, maka dia hanya bisa bertahan sejenak. Sesaat kemudian sosoknya amblas masuk. Namun dalam waktu yang sesaat itu, sudah cukup membuat Pendekar 131 tahu siapa adanya orang yang mendorongnya.


Begitu sosoknya amblas masuk, mungkin tak dapat menahan rasa kaget dan geram, murid Pendeta Sinting ini berseru keras. Suaranya menggelegar bergaung di seantero tempat di mana kini dia sedang melayang. Begitu kerasnya seruan yang keluar, membuat Pendekar 131 merasa tercekat dengan suaranya sendiri. Begitu gaung suaranya lenyap, dan tubuhnya masih terasa melayang, sepasang matanya yang sejak tubuhnya masuk tadi terpejam, kini perlahan-lahan dibuka.


Namun dia kembali tersentak. Dia tidak bisa melihat apa-apa karena ternyata tempat di mana dia sedang melayang jatuh sangat gelap! Bahkan hidungnya mulai menghirup bau aneh membuat perutnya agak mual dan napasnya megap-megap. Karena tubuhnya terus melayang dan perutnya bertambah mual, murid Pendeta Sinting pejamkan matanya kembali. Dia tak bisa menghitung sampai berapa lama dia melayang jatuh sebab sejauh ini baik tubuh maupun sepasang kakinya belum juga membentur sesuatu atau menemukan tempat untuk berpijak, meski sambil pejamkan sepasang matanya Pendekar 131 tak henti-hentinya menggerakkan kedua tangan dan kakinya untuk menggapai sesuatu.


Entah karena semakin ngeri atau merasa harus selamatkan diri, sambil pejamkan mata, dia alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu serta-merta dia lepaskan satu pukulan ke arah depan. Terdengar gaung gelombang angin dahsyat, namun gelombang angin itu seakan menghantam udara kosong, karena setelah itu tidak terdengar apa-apa. Joko kembali kerahkan tenaga dalam. Lalu memukul ke samping kanan dan kiri. Kembali yang terdengar hanyalah gaung suara lesatan pukulannya. Setelah itu tidak terdengar apa-apa lagi!


Joko tidak putus asa, dia hantamkan kembali kedua tangannya ke bawah. Berpikir untuk mengetahui sampai seberapa jauh dia akan mendapatkan dasar tempat untuk berpijak. Tapi murid Pendeta Sinting ini jadi melengak dan tambah tersirap darahnya. Karena pukulan yang diarahkan ke bawah juga lenyap tak perdengarkan suara jika menghantam sesuatu!


“Celaka! Tempat apa ini. Rasanya aku sedang berada di tempat yang tidak ada batasnya. Mungkin harus beginikah akhir nasibku? Ini gara-gara ulah…”


Gumaman Pendekar 131 mendadak terputus ketika merasakan gerakan tubuhnya lebih deras melayang. Malah ketika dia coba membuat kuda-kuda agar tubuhnya tidak sampai menghempas, murid Pendeta Sinting gagal melakukannya. Tubuhnya kini terbalik kaki di atas kepala di bawah. Keadaan ini membuat Pendekar 131 pening dan tak lama kemudian kesadarannya mulai hilang.


Blukkk!


Kepala dan tubuh Pendekar 131 menumbuk sesuatu. Kesadaran murid Pendeta Sinting yang mulai lenyap mendadak muncul kembali. Namun dia tak segera bangkit. Selain belum normal kesadarannya, dia juga merasakan tubuhnya sakit bukan main. Setelah agak lama, baru dia membuka kelopak matanya seraya geleng-gelengkan kepalanya. Lalu meraba pada pinggangnya, khawatir Pedang Tumpul yang berada di balik pakaiannya ikut jatuh sewaktu tubuhnya terjungkir. Namun murid Pendeta Sinting ini sedikit merasa lega, karena tangannya masih merasakan senjata itu.


Setelah menarik napas panjang, perlahan-lahan Pendekar 131 bergerak duduk. Lalu edarkan pandangannya. Ternyata dia berada pada satu tempat berupa padang luas. Tidak ada pepohonan atau semak belukar. Sejauh mata memandang, yang kelihatan hanyalah hamparan pasir putih serta gugusan batu karang jauh di depan sana. Tempat itu tampak sedikit terang karena seperti ada cahaya masuk dari balik gugusan batu karang.


“Untung kepalaku jatuh di atas pasir, jika sampai menghantam batu karang itu mungkin berakhir riwayatku. Hm… Berada di mana aku saat ini? Kulihat tempat ini terang. Berarti masih ada cahaya yang bisa masuk. Dengan menuruti dari mana cahaya berasal, mungkin aku bisa keluar dari tempat ini. Hem… Tengkorak Berdarah! Kau akan menyesal! Aku tak akan membiarkanmu hidup! Jangan-jangan Iblis Ompong dan saudara-saudaranya juga dilemparkan ke tempat ini…”


Pendekar 131 cepat putar tubuh. Seketika sepasang matanya mendelik. Tengkuknya dingin. Di hadapannya di atas hamparan pasir putih, terlihat berserakan beberapa sosok manusia yang telah berubah menjadi jerangkong. Tinggal tulang-belulang putih. Malah sebagian ada yang tanggal dari tubuhnya.


“Iblis Ompong dan saudara-saudaranya belum lama lenyap. Kalaupun mereka telah jadi mayat, tentu masih ada dagingnya! Aku akan mencarinya di antara serakan jerangkong-jerangkong ini…”


Dengan menindih rasa ingin muntah dan ngeri, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Perlahan-lahan melangkah lalu perhatikan tiap tengkorak manusia yang banyak berserakan.


“Hem… Ada senjata tombak dan golok… Tapi sudah berkarat! Aneh… Padahal tak ada air…” gumam Joko sambil terus melangkah dan meneliti dengan seksama, malah tak jarang harus membalikkan tengkorak yang dalam posisi telungkup. Tapi sekian jauh dia tak menemukan tanda-tanda adanya tengkorak Iblis Ompong dan saudara-saudaranya.


“Jangan-jangan mereka telah menjadi tengkorak hingga tak bisa kukenali…”


Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 131 mengitari tempat itu. Begitu yakin tak dapat menemukan Iblis Ompong dan saudara-saudaranya, Joko memutuskan untuk mencari jalan keluar. Joko melangkah ke arah cahaya yang masuk. Joko sejenak jadi heran. Meski tampaknya tempat dari mana cahaya masuk itu tidak jauh, namun begitu dia mendekat, tempat itu belum juga tercapai!


“Busyet! Ternyata yang terlihat hanyalah pantulannya!” gumam Joko begitu menyadari jika cahaya yang tampak masuk itu merupakan pantulan. Pantulan itu menjulur jauh hingga yang tampak adalah satu titik cahaya nun jauh di sana. Joko teruskan langkah. Namun karena tak juga sampai pada titik cahaya, akhirnya dia kerahkan ilmu peringan tubuh. Kejap lain tubuhnya telah melesat.


Setelah melesat jauh, Joko memperlambat larinya karena dihadapannya kini banyak tonjolan batu-batu karang. Malah kini Joko harus melangkah perlahan-lahan, karena tonjolan batu-batu karang itu hanya menyisakan jalan setapak dan berkelok-kelok mengikuti bentuk batu karang. Pada satu tempat Joko hentikan langkah. Di hadapannya berdiri tonjolan batu karang dan tak menyisakan jalan, hingga mau tak mau murid Pendeta Sinting harus merangkak naik. Tapi Joko terlengak. Ternyata batu karang itu sangat licin.


“Aneh sekali… Di atas batu ditumbuhi lumut tipis. Bagaimana bisa begini? Di sini tidak ada air, hujan pun mungkin tak akan bisa menembus. Hem…”


Joko akhirnya harus merangkak naik. Tiba pada bagian atas batu yang menonjol tinggi dia layangkan pandangannya ke sekeliling. Saat itulah pandangan matanya menangkap sebuah batu yang tegak di antara tonjolan-tonjolan batu karang.


“Mirip sebuah patung…” desis Joko lalu perlahan-lahan melangkah mendekat.


“Benar! Sebuah patung… Tapi tanpa kepala dan tangan kanan… Tapi bagaimana bisa di sini?”


Joko arahkan pandangannya pada tempat sekitar patung. Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting tersentak. Tak jauh dari patung tak berkepala dan hanya memiliki satu tangan tampak menggeletak sebuah benda berwarna kuning. Joko segera melangkah. Lalu mengambil benda itu. Seraya terus memperhatikan benda yang kini ada di tangannya. Joko membersihkan lumut tipis yang melekat pada benda itu.


“Mirip sebuah…. Ah, betul. Sebuah mahkota bersusun tiga. Pasti benda ini terbuat dari emas… Jangan-jangan ini tempat penyimpanan harta karun…”


Berpikir begitu, Joko segera layangkan pandangannya ke seantero tempat ketinggian itu. Namun dia tidak lagi menangkap apa-apa. Yang tampak hanyalah bagian atas tonjolan batu-batu karang.


“Jangan-jangan di batu paling tinggi itu…” gumam Joko begitu pandangannya melihat satu batu karang paling tinggi daripada tonjolan batu karang lainnya.


Joko segera melompat dari satu batu karang ke batu karang lainnya. Tepat di bibir batu karang paling tinggi, Joko berhenti. Kepala tengadah. Dahinya mengernyit. Sepasang matanya menyipit membesar. Pada bibir batu karang itu terlihat juluran tengkorak sepasang kaki!


“Ada keanehan… Batu karang yang tinggi ini tidak ditumbuhi lumut…”


Karena batu di sampingnya tegak tanpa ada tonjolan, terpaksa Joko memutar langkah untuk mencari jalan agar bisa mencapai bagian atas. Setelah susah payah akhirnya Joko sampai bagian atas batu paling tinggi. Dia cepat melangkah mendekati tempat di mana dia tadi melihat juluran tengkorak sepasang kaki. Ketika sampai, Joko melihat satu tengkorak manusia dalam posisi telungkup. Dia bergerak jongkok. Lalu memperhatikan berlama-lama. Saat itulah matanya melihat beberapa renteng peniti berwarna kuning. Dengan dada sedikit berdebar, Joko mengambil beberapa peniti itu.


“Hem… Melihat mahkota serta peniti ini, kemungkinan besar tengkorak ini seorang perempuan…”


Setelah menyatukan peniti dengan mahkota ke balik pakaiannya, perlahan-lahan murid Pendeta Sinting balikkan tengkorak yang telungkup. Pendekar 131 serentak terkesiap.


Matanya terpentang besar. Dadanya berdegup keras. Malah kedua tangannya tampak bergetar!

Izilinganiso nezibuyekezo

3.0
2 izibuyekezo

Nikeza le ebook isilinganiso

Sitshele ukuthi ucabangani.

Ulwazi lokufunda

Amasmathifoni namathebulethi
Faka uhlelo lokusebenza lwe-Google Play Amabhuku lwe-Android ne-iPad/iPhone. Livunyelaniswa ngokuzenzakalela ne-akhawunti yakho liphinde likuvumele ukuthi ufunde uxhunywe ku-inthanethi noma ungaxhunyiwe noma ngabe ukuphi.
Amakhompyutha aphathekayo namakhompyutha
Ungalalela ama-audiobook athengwe ku-Google Play usebenzisa isiphequluli sewebhu sekhompuyutha yakho.
Ama-eReaders namanye amadivayisi
Ukuze ufunde kumadivayisi e-e-ink afana ne-Kobo eReaders, uzodinga ukudawuniloda ifayela futhi ulidlulisele kudivayisi yakho. Landela imiyalelo Yesikhungo Sosizo eningiliziwe ukuze udlulise amafayela kuma-eReader asekelwayo.