Misteri Tengkorak Berdarah

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Book 11 · Pantera Publishing
5.0
3 reviews
Ebook
112
Pages
Ratings and reviews aren’t verified  Learn More

About this ebook

Ratu Malam! Gendeng Panuntun!” Pendekar 131 yang sedari tadi kancingkan mulut melihat apa yang sedang terjadi di seberang depan, adalah orang yang pertama kali berteriak begitu mengenali siapa adanya dua orang yang baru muncul. Murid Pendeta Sinting ini cepat berkelebat lalu berdiri tegak di hadapan kedua orang yang bukan lain memang Ratu Malam dan Gendeng Panuntun adanya. Ratu Malam hadapkan wajahnya ke arah Joko. Mulutnya yang selalu mainkan gumpalan tembakau hitam komat-kamit. Kejap lain nenek berambut putih sebatas tengkuk dan mengenakan jubah warna merah menyala ini berkata.


“Kelakuanmu tidak berubah, Setan Jelek! Di mana-mana selalu bikin urusan dengan gadis-gadis! Sampai kapan kau akan terus begitu, hah?!”


Murid Pendeta Sinting tidak segera menyahut ucapan Ratu Malam. Dia melirik sebentar ke arah Puspa Ratri dan Saraswati yang wajahnya tampak berubah. Lalu cepat membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Malam dan Gendeng Panuntun yang tampak tegak dengan kepala tengadah dan tangan kanan usap-usap cermin bulat yang ada di depan perutnya. Kakek gendut ini berpaling sejurus pada Ratu Malam lalu buka mulut.


“Kau juga tidak berubah! Selalu marah-marah tak ada juntrung. Sampai kau tak sadar di mana saat ini berada dan siapa saja orang-orang yang ada di sekitarmu!”


Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, cepat Ratu Malam putar kepalanya dengan mata mendelik. Ketika sepasang matanya menumbuk pada sosok Panjer Wengi, nenek ini tampak terkesiap malah kedua pasang kakinya tersurut satu tindak.


Namun keterkejutan nenek berjubah merah ini hanya sesaat. Saat lain tubuhnya dicondongkan ke depan, mulutnya komat-kamit. Sementara kedua tangannya mengusap-usap sepasang matanya.


“Hampir tak dapat kupercaya! Tapi rasanya benar-benar dia!” gumamnya lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. Kakek ini tidak hiraukan Ratu Malam yang tampak dilanda kebimbangan. Sebaliknya si kakek bertubuh besar ini melangkah perlahan ke arah Panjer Wengi. Sejarak enam langkah dia berhenti. Lalu menjura hormat.


“Eyang Guru…. Terimalah salam hormatku….”


Mengetahui apa yang dilakukan Gendeng Panuntun, Ratu Malam cepat melompat lalu ikut-ikutan menjura pada Panjer Wengi sambil berkata.


“Eyang Guru…. Mohon dimaafkan. Aku sama sekali tidak menduga….”


Joko tercenung dengan mata mendelik. Sementara Puspa Ratri dan Saraswati saling pandang tidak mengerti. Hanya Prabarini yang kelihatan tenang-tenang saja. Sementara Dewa Orok yang berdiri agak jauh tampak mengernyit lalu menyedot bundaran karet mulutnya hingga perdengarkan suara duuutt! Duuuttt! berulang kali.


"Tidak kusangka sama sekali kalau orang tua yang kuyakin adalah penghuni Istana Hantu itu adalah guru mereka. Lebih-lebih tidak kukira jika kedua gadis itu adalah anak-anaknya! Aku harus mengucapkan terima kasih padanya…,” kata Joko lalu melangkah. Begitu sejajar dengan Gendeng Panuntun, murid Pendeta Sinting cepat memberi penghormatan.


“Orang tua. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku…. Dan harap maafkan kalau selama ini aku punya prasangka buruk dan pernah berbuat kurang ajar padamu….”


Panjer Wengi menghela napas panjang. Sepasang matanya yang sudah sayu pandangi ketiga orang di hadapannya. “Sekar Mayang dan kau Rawadan, aku gembira melihat kalian berdua masih sehat-sehat saja. Lebih dari itu, aku merasa senang karena kalian berdua selama ini mau membantu pemuda itu serta menjalankan pesan yang pernah kukatakan!”


Orang yang disebut dengan Sekar Mayang dan Rawadan bukan lain adalah Ratu Malam dan Gendeng Panuntun. Sekar Mayang dan Rawadan adalah nama asli Ratu Malam dan Gendeng Panuntun.


Ratu Malam angkat kepalanya pandangi Panjer Wengi yang tidak lain adalah gurunya. “Eyang Guru…. Terus terang, aku tadi masih bimbang. Karena selama ini kami duga Guru telah tiada….”


Panjer Wengi tersenyum. “Satu tugas telah mengharuskanku bertindak demikian, Sekar Mayang.”


Habis berkata begitu, kepala Panjer Wengi menoleh pada Pendekar 131 lalu berkata.


“Anak muda. Kau juga tak perlu minta maaf. Sekali lagi, tugas yang telah mewajibkan aku bertindak seperti yang kau alami! Pesanku padamu, jagalah kitab yang sekarang ada di tanganmu sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri! Dan dengan telah berhasilnya kau miliki kitab itu, maka selesailah tugasku! Kini segala urusan rimba persilatan ada pada pundakmu!”


Beberapa saat Panjer Wengi diam. Lalu arahkan pandangannya pada Ratu Malam dan Gendeng Panuntun, “Sekar Mayang, Rawadan. Aku harus pergi sekarang….” Panjer Wengi putar diri menghadap Puspa Ratri dan Saraswati yang ada di sampingnya.


Eyang Guru…. Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu!” kata Ratu Malam menahan gerakan Panjer Wengi.


“Katakanlah, Sekar Mayang….”


“Sejak peristiwa terbukanya Istana Hantu hingga kini, ketiga muridmu lenyap tidak ada beritanya. Sementara orang menduga kalau ketiganya….”


“Sekar Mayang…,” potong Panjer Wengi. “Tentang ketiga saudaramu itu panjang ceritanya. Aku tidak bisa menerangkan di sini. Lebih baik kau nanti minta cerita pada mereka. Tak lama lagi kau akan menemuinya….”


Panjer Wengi teruskan putaran tubuhnya menghadap Puspa Ratri dan Saraswati. “Anak-anakku…. Kita cari tempat yang baik untuk berbincang-bincang dari hati ke hati agar semua ganjalan yang masih ada bisa sirna.”


Puspa Ratri dan Saraswati saling pandang. Dan secara tak sadar kedua gadis ini lantas berpaling pada murid Pendeta Sinting. Dada keduanya sama berdebar. Mereka tak tahu harus berkata apa. Karena keduanya ternyata masih saudara satu ayah lain ibu. Sementara hati keduanya sudah sama-sama menyukai Pendekar 131.


“Bagaimana ini? Mungkinkah aku harus berebut dengan Puspa Ratri, saudaraku sendiri? Tapi aku tak dapat mendustai diri sendiri. Aku menyintai pemuda itu” kata Saraswati dalam hati. Di lain pihak, diam-diam Puspa Ratri juga membatin.


“Hari ini aku menemukan ayahku. Tapi haruskah semuanya kutebus dengan duka yang lain? Akankah harus kulepas pemuda itu? Padahal aku…. Ah…. Apakah yang harus kukatakan pada Saraswati? Apa yang harus kulakukan?!”


Apa yang saat itu melanda pada hati masing-masing gadis rupanya dapat ditangkap oleh Prabarini. Perempuan ini mendehem, membuat Puspa Ratri dan Saraswati paling kan wajah ke arahnya.


“Puspa, Saraswati. Kalian berdua membutuhkan waktu agak panjang untuk memutuskan apa yang harus kalian lakukan. Kalian butuh saling terbuka. Yang kuharap nanti, jangan kalian ambil keputusan dengan dilandasi perasaan cemburu”.


Paras wajah Puspa Ratri dan Saraswati sama bersemu merah. Prabarini melangkah mendekati Puspa Ratri. Lalu berkata pelan.


“Apa yang dikatakan ayahmu benar. Kau ikutlah dia agar bisa berbincang lebih tenang….”


“Ibu…. Kita harus bersama-sama!” ujar Puspa Ratri.


Prabarini gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kau telah bertemu dan tahu siapa ayahmu. Kau perlu waktu untuk bersama dengannya agar kau tahu banyak siapa ayahmu sebenarnya. Untuk sementara ini aku tidak dapat menyertaimu. Kau pasti sudah tahu apa sebabnya. Kuharap kau mau mengerti….”


Habis berkata begitu, Prabarini mencium wajah anaknya. “Jaga dirimu baik-baik. Ambillah keputusan tanpa adanya penyesalan di kemudian hari.” Perempuan ini lantas memandang pada Saraswati lalu mendekat. Lengan gadis ini dipegangnya.


“Saraswati…. Kau harus dapat menerima kenyataan ini. Lebih dari itu kau harus bisa memahami apa yang dilakukan ibumu! Dan tak lupa aku juga minta maaf padamu atas kejadian semua ini….”


Tanpa menunggu sahutan dari Saraswati. Prabarini berpaling pada Panjer Wengi. Dia sepertinya hendak buka mulut bicara. Namun dia tampak ragu-ragu. Hingga untuk sesaat perempuan ini hanya memandang ke dalam bola mata sayu milik suaminya itu. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat tinggalkan tempat itu.


Puspa Ratri hendak mengejar, namun Panjer Wengi cepat berucap. “Anakku…. Percayalah apa yang dikatakan ibumu. Tak lama lagi kita pasti akan bertemu lagi. Sekarang kita harus pergi….”


Panjer Wengi melangkah lalu berhenti di antara Puspa Ratri dan Saraswati. Kedua tangannya memegang satu persatu lengan Puspa Ratri dan Saraswati. Lantas menariknya perlahan untuk mengajak keduanya pergi dari tempat itu.


Puspa Ratri dan Saraswati sejurus sama arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting. Saat lain keduanya saling berpandangan. Wajah keduanya sama berubah merah. Tanpa buka mulut lagi, keduanya lalu melangkah mengikuti Panjer Wengi.


“Setan Jelek!” kata Ratu Malam begitu sosok Panjer Wengi, Puspa Ratri dan Saraswati pergi. “Kau jangan berani macam-macam pada gadis-gadis itu!”


“Kau jangan terlalu menduga yang tidak-tidak, Nenek” Yang menyahut adalah Gendeng Panuntun.


“Diam kau! Aku bicara dengan Setan Jelek ini! Kau harus tahu, kalau sampai terjadi apa-apa nantinya pada gadis-gadis itu, tak urung kita juga hanya akan mendapat getahnya! Padahal Setan Jelek ini yang makan nangkanya!”


“Ratu Malam…,” ujar Joko seraya tersenyum. “Kau tak perlu khawatir, aku tahu siapa diriku dan siapa gadis-gadis itu!”


“Hem…. Bagus kalau kau sadar begitu! Tapi jika kelak kau keluar dari apa yang kau ucapkan, aku tak segan memuntir kepalamu meski aku tahu kau kini telah mendapatkan kitab sakti!” kata Ratu Malam lalu berpaling pada tempat di mana tadi Dewa Orok berada.


“Hem…. Ke mana minggatnya temanmu tadi?!”


Pendekar 131 memandang ke tempat Dewa Orok berada. Ternyata pemuda bertangan buntung itu memang tak ada lagi di tempatnya semula.


Selagi Ratu Malam dan Pendekar 131 mencari-cari tiba-tiba terdengar satu debuman keras. Serentak Ratu Malam dan murid Pendeta Sinting berpaling ke arah datangnya suara debuman.


“Pintu Istana Hantu…,” gumam Joko seraya mendelik memandang jauh ke depan ke arah Istana Hantu. Dari tempatnya berdiri, baik Ratu Malam maupun Joko melihat pintu Istana Hantu telah menutup.


Tapi kali ini bukan tertutupnya gerbang pintu Istana Hantu yang membuat kedua orang ini terus pentangkan mata masing-masing. Melainkan dari depan gerbang pintu yang baru keluarkan debuman menutup, tampak tiga sosok tubuh melangkah ke tempat mereka berada!

Ratings and reviews

5.0
3 reviews

Rate this ebook

Tell us what you think.

Reading information

Smartphones and tablets
Install the Google Play Books app for Android and iPad/iPhone. It syncs automatically with your account and allows you to read online or offline wherever you are.
Laptops and computers
You can listen to audiobooks purchased on Google Play using your computer's web browser.
eReaders and other devices
To read on e-ink devices like Kobo eReaders, you'll need to download a file and transfer it to your device. Follow the detailed Help Center instructions to transfer the files to supported eReaders.