Bara di Kedung Ombo

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Book 18 · Pantera Publishing
Ebook
128
Pages
Ratings and reviews aren’t verified  Learn More

About this ebook

DI lain pihak, murid Pendeta Sinting yang telah tegak bukannya memandang pada Malaikat Penggali Kubur, tapi memandang lekat-lekat pada kedua orang berwajah hitam. “Hem…. Aku yakin sekarang siapa mereka sebenarnya….”


Tanpa pedulikan pada tatapan Malaikat Penggali Kubur, Joko melangkah hendak mendekati kedua orang berwajah hitam.


“Sontoloyo! Mau apa kau?!” mendadak yang bertelanjang dada dan kalungkan celana hitam pada lehernya yakni Raden Mas Antar Bumi membentak.


“Rupanya si sontoloyo muridmu itu telah tahu…. Hik…. Hik…. Hik…! Ternyata dandan kita kurang mahir! Tapi menurutmu, apakah nenek cantik bekas pacarmu itu juga sudah tahu?!” bisik Raden Mas Antar Langit. Meski ucapan orang ini telah selesai, tapi orang ini terus buka lebar-lebar mulutnya yang bergigi ompong.


“Sialan! Jangan bicara terlalu keras!” bisik Raden Mas Antar Bumi dengan nada keras.


“Hem…. Aku tahu apa yang ada di balik benakmu! Kau nanti pura-pura menanam budi pada nenek itu. Biar nanti hatinya luruh dan jatuh cinta padamu lagi! Begitu bukan…?! Laki-laki di mana-mana memang suka memuslihati perempuan! Tololnya si namanya perempuan. Dia akan percaya kalau dimuslihati laki-laki dan tidak percaya kalau dikasih keterangan jujur! Hik…. Hik…. Hik…!”


“Sialan! Tutup mulutmu dulu! Di sini bukan tempatnya berhik…. Hik…. Hik…!”


Melihat orang tertawa-tawa, Malaikat Penggali Kubur kepalkan kedua tangannya. Tapi kejap lain kedua tangannya dibuka kembali dan kini diangkat ke depan perutnya.


“Terlalu berisiko kalau aku menghantam hanya pada satu orang! Mereka pasti akan ramai-ramai membendung! Hem….” Malaikat Penggali Kubur melirik.


Di lain pihak, sebenarnya Joko juga sedang berpikir. “Kitab di tangannya punya kekuatan luar biasa! Pukulan ‘Serat Biru’ dan ‘Sundrik Cakra’ belum mampu membuatnya roboh tak berkutik! Tapi…. Pasti segala sesuatu ada kelemahannya! Yang jadi pertanyaan, di mana letak kelemahan kitab itu…?! Bisa saja aku mengajaknya bertarung jarak dekat, tapi sekali dia punya kesempatan, aku akan celaka sendiri…. Namun apa boleh buat. Kukira hanya itu satu-satunya jalan. Dia tidak diberi kesempatan untuk mengusap kitab di balik pakaiannya….” Akhirnya Joko memutuskan. Dia melirik sekilas pada Malaikat Penggali Kubur. Kejap lain tiba-tiba Joko tepuk keningnya sendiri. “Bodoh! Dia boleh punya kitab luar biasa sakti! Tapi kalau dia tidak bisa melihat di mana lawan, kitab sakti tidak akan ada gunanya! Ah…. Berarti senjata utamanya bukan pada kitab itu! Tapi pada matanya!”


Berpikir sampai ke sana tiba-tiba Joko berkelebat ke samping kanan dengan kedua tangan terangkat seolah hendak lepaskan pukulan. Malaikat Penggali Kubur segera putar tubuh. Menduga Joko lepaskan pukulan, tangan kanan Malaikat Penggali Kubur segera mengusap perutnya.


Namun sebelum deruan terdengar, Joko sudah berkelebat ke samping kiri. Malaikat Penggali Kubur putar tubuh ke samping kiri sambil usap perutnya. Joko kembali telah berkelebat sebelum suara deruan terdengar Dia sengaja berkelebat berputar. Dengan begitu dia akan terhindar dari deruan dan gelombang tak terlihat yang telah menghajar.


Melihat gerakan-gerakan Joko, kedua orang berwajah hitam saling pandang.


“Sontoloyo! Mengapa dia berputar-putar mirip anak mainan saja?!” bisik Raden Mas Antar Bumi.


“Ah…. Ternyata kita bukan hanya kurang mahir dandan! Tapi juga kurang panjang akal! Kita ikuti saja gerakannya!” bisik Raden Mas Antar Langit.


“Gila! Apa kita harus ikut-ikutan anak ingusan itu berputar-putar tak karuan? Kita hantam saja ramai-ramai!”


“Sontoloyo!” bisik Raden Mas Antar Langit. “Jangan tanya jawab di sini! Tapi dengar, meski dia ingusan, namun dia lebih panjang akal daripada kita!”


“Sialan! Bagaimana bisa begitu, hah?!”


“Sudah kubilang, jangan tanya jawab di sini! Sekarang aku akan ikut mainan putar-putar itu! Kalau kau tidak, kau akan menyesal sendiri!”


Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit segera berkelebat dan tahu-tahu telah berada di belakang Joko yang terus berkelebat memutar namun sedikit demi sedikit mempersempit jarak dengan Malaikat Penggali Kubur.


“Kek….”


“Jangan bicara Kak, Kek! Ayo terus berputar! Aku tahu apa yang kau rencanakan! Tapi jangan lengah!” bentak Raden Mas Antar Langit. Orang ini lantas pegangi pinggang Joko dari belakang dengan kepala merunduk dan ikut berkelebat ke mana Joko bergerak.


“Ah…. Aku tahu sekarang! Sontoloyo itu benar!” ujar Raden Mas Antar Bumi pada akhirnya setelah agak lama berpikir. Orang ini lantas berkelebat. Dan tahu-tahu telah tegak di belakang Malaikat Penggali Kubur. Saat bersamaan, dari arah seberang tiba-tiba Putri Sableng berkelebat sambil berteriak.


“Aku ikut mainan!”


Raden Mas Antar Bumi hendak mencegah, namun terlambat. Putri Sableng telah tegak di belakangnya lalu seperti Raden Mas Antar Langit, gadis cantik berjubah merah ini pegang pinggang Raden Mas Antar Bumi.


“Kita harus terus berada di belakangnya! Biar mereka berdua yang memancing dari arah depan!” bisik Putri Sableng.


“Ah…. Bagaimana ini?!” gumam Raden Mas Antar Bumi dalam hati. Hatinya gelisah. “Ini alamat urusan dengan nenek itu akan tambah tak karuan!” dia melirik pada Ni Luh Padmi yang masih duduk bersandar pada lamping batu cadas putih dengan mata terus memperhatikan apa yang terjadi.


“Hai…. Bergerak! Awas serangan!” teriak Putri Sableng sambil menarik pinggang Raden Mas Antar Bumi. Buru-buru Raden Mas Antar Bumi berkelebat karena saat itu tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur balikkan tubuh dan mengusap perutnya.


“Sialan! Apa yang kau pikirkan?!” gerutu Putri Sableng. “Terlambat sedikit, kita akan mampus!”


“Mampus ya mampus! Tapi jangan kau pegang terus pinggangku!” Raden Mas Antar Bumi balas membentak.


“Sialan! Kau takut nenek itu cemburu?! Aku jadi ingin tahu bagaimana kalau nenek-nenek cemburu! Hik…. Hik…. Hik…!” Putri Sableng kini bukan lagi pegang pinggang Raden Mas Antar Bumi, sebaliknya gadis berjubah merah ini rangkulkan kedua tangannya erat-erat pada pinggang Raden Mas Antar Bumi!


Raden Mas Antar Bumi menyumpah-nyumpah. Namun dia tak bisa berbuat banyak, karena Malaikat Penggali Kubur kini memutar-mutar tubuhnya seraya terus menerus mengusap kitab di balik pakaiannya. Hingga mau tak mau Raden Mas Antar Bumi harus mengikuti gerakan Malaikat Penggali Kubur, karena sedikit lengah, gelombang tak terlihat akan menghantamnya.


Di bawah siraman cahaya purnama, kini tampak orang terus berputar-putar disertai suara menderu-deru yang keluar dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur. Sementara itu pasir dan batu-batu tampak bertabur dan berpelantingan lalu pecah karena tersapu dan terhantam gelombang tak terlihat dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur. Kedung Ombo bergetar terus menerus laksana dihantam gelombang saling susul menyusul.


Air kedung bergolak liar dan muncrat ke sana kemari.


Ni Luh Padmi terdengar memaki-maki karena sekujur tubuhnya hampir tidak tampak lagi tertutup hamburan pasir. Sementara tubuhnya terus-menerus disentak-sentak menghantam lamping batu di belakangnya. Malah di seberang sana, sosok Iblis Rangkap Jiwa telah terbang sejauh sepuluh tombak!


Malaikat Penggali Kubur sendiri mulai tampak jerih. Dia bingung. Di satu pihak dia harus waspada pada murid Pendeta Sinting dan Raden Mas Antar Langit yang berada di depannya dan terus mempersempit jarak. Sementara di lain sisi, dia harus perhatikan Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng yang berada menguntit di belakangnya. Dan pemuda murid Bayu Bajra ini makin gelisah tatkala Putri Sableng mulai usil taburkan pasir ke arahnya!


“Keparat! Aku harus menghentikan salah satu dari mereka!” putus Malaikat Penggali Kubur pada akhirnya. Lalu dia melirik sambil terus berputar. Pada satu saat tiba-tiba dia balik arah putarannya.


Joko dan Raden Mas Antar Langit terkesiap. Namun dia cepat bisa atur kelebatannya kembali. Namun tidak demikian halnya dengan Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng. Kedua orang ini terlambat atur kelebatannya. Hingga saat Malaikat Penggali Kubur balik arah putarannya, kedua orang ini terus. Mau tak mau keduanya tepat berada di hadapan Malaikat Penggali Kubur. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur usap kitab di balik pakaiannya.


Walau Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng sempat lepaskan pukulan, namun saat yang sama tubuh keduanya sudah terpelanting lalu terseret menyusur hamparan pasir sampai lima tombak dengan masing-masing orang terkapar. Dari mulut mereka berdua tampak alirkan darah.


Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur yang sekejap tadi arahkan tubuhnya pada Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng tak disia-siakan Joko. Murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya berkelebat ke arah kepala. Raden Mas Antar Langit tak tinggal diam. Dia pun cepat rebahkan diri sejajar pasir lalu menyusur ke depan. Kedua tangannya bergerak menggaet kaki Malaikat Penggali Kubur.


Sergapan Joko dan Raden Mas Antar Langit membuat Malaikat Penggali Kubur tidak punya kesempatan lagi untuk mengusap kitabnya karena dia harus cepat lindungi kepala serta kakinya.


“Pengecut busuk! Kalian ternyata manusia-manusia yang hanya berani main keroyok!” bentak Malaikat Penggali Kubur sambil angkat kedua tangannya menghadang pukulan murid Pendeta Sinting. Saat yang sama, kaki kanannya terangkat lalu menyapu ke arah Raden Mas Antar Langit.


“Bukan maksud hati mengeroyokmu, kami hanya menghindar untuk tidak jadi korbanmu!” kata Raden Mas Antar Langit. Tangan kanan orang ini diangkat lindungi diri dari sapuan kaki Malaikat Penggali Kubur. Sementara tangan satunya terus menjulur.


“Betul! Aku hanya ingin kitab yang ada padamu! Tidak inginkan nyawamu!” sahut Joko seraya teruskan kelebatan kedua tangannya. “Tapi kalau kau keras kepala, aku juga tak segan bertindak kasar untuk hentikan perbuatanmu!”


Bukkk! Bukkk! Bukkk!


Terdengar tiga kali benturan keras. Sosok murid Pendeta Sinting terjajar dua tindak. Sementara tangan kanan Raden Mas Antar Langit terpental lalu menghantam pasir dengan tubuh terguling. Namun tangan kirinya masih sempat menggaet kaki kiri Malaikat Penggali Kubur hingga mau tak mau pemuda murid Bayu Bajra ini terhuyung ke depan.


“Bangsat!” maki Malaikat Penggali Kubur. Kaki kanannya yang baru saja bentrok dengan tangan kanan Raden Mas Antar Langit kembali disapukan ke arah tubuh orang di bawahnya. Namun gerakan tangan kiri Raden Mas Antar Langit yang menggaet kaki kirinya lebih cepat, hingga bukan saja tendangannya melenceng ke atas, namun tubuhnya tertarik deras ke belakang lalu jatuh terduduk!


Dalam puncak kemarahannya, Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya begitu pantatnya menghantam pasir.


Karena tangan kanannya masih berada di belakang sementara tangan kiri memegang kaki kiri Malaikat Penggali Kubur, Raden Mas Antar Langit tak mampu lagi menghadang pukulan yang menghajarnya.


Bukkk! Bukkk!


Pegangan tangan kiri Raden Mas Antar Langit pada kaki kiri Malaikat Penggali Kubur terlepas. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak dan terkapar. Dari mulutnya mengalir darah.


Karena sadar di sampingnya masih ada orang, begitu sentakkan tangan, Malaikat Penggali Kubur putar tubuh ke samping. Tangan kanan menyentak ke depan, tangan kiri usap kitab di balik pakaiannya.


Pendekar 131 tersentak. Karena jaraknya terlalu dekat maka tidak ada kesempatan baginya untuk menghadang pukulan dahsyat Malaikat Penggali Kubur. Apalagi Malaikat Penggali Kubur sekaligus lepaskan pukulan ‘Telaga Surya’ serta usapan pada kitabnya!


Dalam keadaan terjepit begitu rupa, murid Pendeta Sinting berlaku nekat. Dengan satu sentakan, sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat ke depan bukan untuk lepaskan pukulan, namun langsung ke arah sepasang mata Malaikat Penggali Kubur!


Malaikat Penggali Kubur terlengak. Dia tidak menduga sama sekali kalau lawan berani merangsek maju. Dia sejurus berpikir. Teruskan pukulan dan usapan pada perutnya atau angkat kedua tangannya memangkas kedua tangan lawan yang kini berada sejengkal di depan matanya. Entah karena menduga lawan tidak akan mampu Lindungi diri dari kedua pukulannya yang hendak dilepas, akhirnya Malaikat Penggali Kubur teruskan pukulan serta usapan pada perutnya.


Wuuss! Weeerr! Bless! Blesss!


Dari mulut murid Pendeta Sinting dan Malaikat Penggali Kubur terdengar seruan keras. Sosok Pendekar 131 mencelat dan terbanting-banting di udara sebelum akhirnya jatuh telentang di atas pasir dengan pakaian hangus dan mulut serta hidung keluarkan darah! Pedang Tumpul 131 jatuh dari balik pakaiannya dan keluar dari sarungnya. Sosok tubuhnya bergetar keras. Wajah dan sekujur tubuhnya merah membara laksana dipanggang. Mulutnya yang berdarah tampak membuka namun tidak perdengarkan suara. Dadanya bergerak turun naik tak karuan. Sepasang matanya membelalak besar.


Sejenak murid Pendeta Sinting coba bergerak hendak bangkit. Namun dia urungkan karena begitu dia hendak bangun, darah segar menyembur dari mulutnya. Jelas kalau dia terluka cukup parah. Hingga Joko coba himpun tenaga dengan telentang.


Di seberang depan, begitu pukulan ‘Telaga Surya’ dan gelombang yang keluar tak terlihat dari balik pakaiannya menyambar murid Pendeta Sinting, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur terangkat mendekap sepasang matanya yang tiba-tiba terasa panas dan kabur. Ketika mendapati ada aliran hangat dan berbau di kedua tangannya yang mendekap mata, Malaikat Penggali Kubur menggembor seakan hendak merobek langit.


Dia serentak bergerak bangkit. Seolah tidak sadar apa yang terjadi pada dirinya, dia buka tangannya dan akan melihat di mana lawan berada.


“Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mataku kabur tak bisa melihat!” Masih menduga itu karena tertutup darah, Malaikat Penggali Kubur usap-usap sepasang matanya lalu memandang ke depan meski dia sudah merasakan bukan alang kepalang pada sepasang matanya.


Ketika menyadari kalau pandangannya kabur, Malaikat Penggali Kubur hentakkan kaki kanan kirinya. “Mataku…! Mataku kabur!”


Malaikat Penggali Kubur tegak dengan tubuh bergetar keras. Urat-urat pada sekujur tubuhnya tampak menggurat jelas. Rambutnya yang lebat tampak seolah berdiri.


“Pendekar 131! Kau telah membuat mataku kabur! Kini matamu harus kucongkel sebagai imbalannya sebelum nyawamu kulepas!” teriak Malaikat Penggali Kubur dengan kepala mendongak dan kedua tangan mengepal di atas udara. “Bulan purnama akan jadi saksi bagaimana satu persatu mata kalian semua yang ada di sini akan kucongkel sebelum darah kalian semua kulebur di air Kedung Ombo!”


Malaikat Penggali Kubur luruskan wajahnya. Dengan susah payah dia akhirnya dapat melihat di mana murid Pendeta Sinting meski hal itu lebih banyak didasarkan pada firasat dan perhitungan arah.


Begitu merasa hampir yakin, Malaikat Penggali Kubur melesat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dua langkah di samping murid Pendeta Sinting yang telentang. Sejurus Malaikat Penggali Kubur memperhatikan sebab pandangannya samar-samar. Saat itulah kakinya mengantuk sesuatu. Kepalanya bergerak. Pandangannya yang samar-samar masih dapat menangkap kilatan benda di bawahnya.


Tanpa pikir panjang lagi Malaikat Penggali Kubur bungkukkan tubuh. Tangan kanannya menyahut ke bawah. Lalu benda kuning berkilat itu didekatkan pada matanya yang masih alirkan darah. Tangan kirinya meraba.


“Pedang Tumpul 131!” desis Malaikat Penggali Kubur dengan seringai angker. Secepat kilat dia melompat.


Pendekar 131 tersentak. Baru saja dia akan bangkit, satu kaki telah menghantam dadanya hingga tubuhnya telentang kembali. Memandang ke atas, darah murid Pendeta Sinting laksana sirap.


Malaikat Penggali Kubur sudah tegak di atasnya dengan kaki kiri menginjak dadanya serta tangan kanan angkat Pedang Tumpul 131 tinggi ke udara!


Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng yang sudah bangkit terkesima. Keduanya hanya bisa tegak mematung tanpa ada yang buka mulut atau membuat gerakan. Tidak jauh di sampingnya Raden Mas Antar Langit belalakkan mata dengan mulut terbuka lebar-lebar! Di belakang sana Cucu Dewa dan Dewa Orok hanya saling pandang.


“Kita bantam bersama-sama!” ujar Raden Mas Antar Bumi berbisik, lalu memberi isyarat pada Raden Mas Antar Langit untuk mendekat.


Raden Mas Antar Langit segera melangkah mendekat. Raden Mas Antar Bumi kembali katakan usulnya.


“Jarak kita terlalu jauh! Belum sampai pukulan kita sampai, Setan Jelek muridmu itu pasti sudah mampus!” sahut Putri Sableng.


“Betul!” timpal Raden Mas Antar Langit. “Apalagi kita sudah terluka! Sementara dia tinggal tusukkan pedang di tangannya!”


“Lalu apa kita cuma berdiri menyaksikan muridku mampus, hah?!” Raden Mas Antar Bumi membentak meski masih coba menahan suara.


“Hem…. Rupanya kau masih sayang pada nyawa muridmu, Setan Jelek itu!” ujar Putri Sableng. Meski darah masih tampak pada mulutnya, gadis berjubah merah ini coba tertawa cekikikan.


“Sialan! Kau kira aku tega padanya meski dia sableng dan aku sinting, hah?! Kalau kalian tak setuju, menyingkirlah! Aku akan menghantamnya sendiri!” Tanpa menunggu sahutan dari Putri Sableng atau Raden Mas Antar Langit, kedua tangan Raden Mas Antar Bumi sudah terangkat. Tangannya yang bergetar tampak berubah warna menjadi kekuningan.


Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kanan yang menggenggam Pedang Tumpul 131 ke bawah. Sejengkal lagi ujung pedang yang tumpul berada di atas wajah murid Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur hentikan gerakan tangannya. Tanpa berpaling mulutnya angkat bicara.


“Senjata ini akan lebih dahulu mencabut nyawa keparat ini! Jadi jangan berani bertindak bodoh! Jangan ada yang coba membuat gerakan! Tetap di tempat kalian masing-masing!”


Raden Mas Antar Bumi gantungkan kedua tangannya di atas kepala mendengar ancaman Malaikat Penggali Kubur.


Malaikat Penggali Kubur palingkan kepala menghadap Putri Sableng, Raden Mas Antar Bumi, dan Raden Mas Antar Langit. Mulutnya menyeringai angker.


“Kalian akan menyusul satu persatu! Sekarang kalian kuperintahkan untuk menunggu dan melangkah mundur!” teriak Malaikat Penggali Kubur.


Ketiga orang yang diperintah sama saling pandang. Belum ada yang buka mulut, dari arah depan, terdengar lagi teriakan Malaikat Penggali Kubur.


“Lihat!” Malaikat Penggali Kubur gerakkan lagi ujung pedang pada mata murid Pendeta Sinting yang hanya diam, karena selain dadanya diinjak, tangan kirinya juga ditindih kaki kiri Malaikat Penggali Kubur. Tangan kanannya memang masih leluasa bergerak. Tapi secepat apa pun gerakan tangan kanannya, tak bisa lagi menghadang jika pedang itu menghantam!


Ketika samar-samar dan diyakininya ketiga orang di depan sana memandang ke arahnya, Malaikat Penggali Kubur teruskan ucapan.


“Kuperintahkan kalian mundur! Mundur! Mundur!”


Ujung Pedang Tumpul sudah menempel pada mata kiri murid Pendeta Sinting, hingga Joko cepat pejamkan matanya. Kuduknya meremang. Sementara di seberang sana perlahan-lahan ketiga orang yang dibentak gerakkan kaki mundur. Malaikat Penggali Kubur terus hadapkan wajahnya ke arah tiga orang yang surutkan kaki mundur.


“Bagus! Sekarang berbalik! Cepat! Jika tidak, mata kiri keparat ini sudah kukeluarkan!”


Dengan saling pandang dan menggumam tak jelas akhirnya ketiga orang itu turuti bentakan perintah Malaikat Penggali Kubur.


“Celaka! Celaka! Seharusnya kita tadi langsung saja menghantam ramai-ramai! Bagaimanapun juga dia akan laksanakan ancamannya!” gumam Raden Mas Antar Bumi dengan tubuh menggigil. Malah kini dia ambil celana hitam yang masih mengalung di lehernya dan dicampakkan saja di atas pasir. Putri Sableng dan Raden Mas Antar Langit tidak ada yang buka mulut menyahut. Tubuh mereka bergetar bahkan lutut Raden Mas Antar Langit tampak goyah dan hampir saja dia limbung kalau tidak segera ditahan tangan Putri Sableng.


“Rupanya kali ini kita tak bakal bisa selamatkan nyawa Anak Sableng itu…,” gumam Raden Mas Antar Langit lalu buka mulutnya lebar-lebar.


Setelah menghitung jarak dan percaya mereka tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya dia masih bisa selamatkan diri dan sekaligus cabut nyawa Pendekar 131 jika sewaktu-waktu orang menyerangnya, Malaikat Penggali Kubur hadapkan wajahnya pada Pendekar 131 yang terinjak di bawahnya. Tampangnya ganas apalagi dari sepasang matanya terus kucurkan darah.


“Sepasang matamu akan kucabut dahulu, Pendekar Keparat! Biar kau tahu bagaimana rasanya orang tak bermata!” Malaikat Penggali Kubur berteriak sambil arahkan ujung pedang pada mata kiri kanan murid Pendeta Sinting. Joko diam-diam kerahkan tenaga dalam. Namun Malaikat Penggali Kubur segera keraskan injakannya.


“Kau teruskan salurkan tenaga dalam, anggota tubuhmu akan kuputus satu persatu!” Malaikat Penggali Kubur rupanya dapat menangkap apa yang dilakukan Joko begitu merasa kakinya yang menginjak terasa hangat dan bergetar pertanda orang di bawahnya tengah himpun tenaga dalam.


Murid Pendeta Sinting mau tak mau tidak lanjutkan himpun tenaga dalam. Namun dia masih berpikir keras.


Tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur sabetkan ujung pedang pada dada, lalu berhenti pada perut murid Pendeta Sinting.


Brettt!


Murid Pendeta Sinting berseru. Nyawanya laksana melayang. Ketiga orang di depan sana sama menggigil dan tak berani berpaling tak tega melihat. Namun Joko bernapas agak lega merasakan kalau cuma pakaiannya yang robek menganga di bagian perut.


Malaikat Penggali Kubur putar-putar ujung pedang yang tumpul menyusuri perut Joko. “Hem…. Kedua kitab itu tidak dibawa! Tapi apa peduliku?! Kitab Hitam sudah terbukti tidak ada tandingannya!”


Meski membatin begitu, namun Malaikat Penggali Kubur masih juga ajukan tanya.


“Katakan di mana kedua kitab itu!”


“Hem…. Jadi kau masih inginkan kitab itu?!” Joko balik bertanya meski suaranya terdengar bergetar dan tersendat.


“Tanganku menggenggam nyawamu! Jangan berani balik bertanya!” sentak Malaikat Penggali Kubur. Kembali ujung pedang diarahkan pada mata kiri murid Pendeta Sinting hingga buru-buru Joko katupkan kembali matanya yang sejenak tadi hendak membuka. Sementara mendengar ucapan Joko, ketiga orang di seberang sana sama menghela napas. “Belum…. Sontoloyo itu masih bernapas…,” gumam Raden Mas Antar Bumi.


“Aku tak pernah bertanya ketiga kali!” ujar Malaikat Penggali Kubur. Lalu angkat ujung pedang sejengkal dari mata Joko. Dengan begitu dia lebih mendapat ruang.


“Kitab itu kusimpan di satu tempat! Aku bisa tunjukkan padamu….” Akhirnya Joko menjawab.


“Katakan di mana!”


“Aku tak bisa mengatakan, tapi aku mau mengantarmu ke tempat penyimpanan itu!”


Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. “Dalam urusan muslihat, kau harus belajar dariku, Jahanam! Ha…. Ha…. Ha…! Baik. Aku minta kau mengantarku. Tapi aku ingin lihat dahulu bagaimana bentuk bola matamu! Kukira kau masih ingat di mana tempat itu meski rongga kedua matamu tanpa mata!”


Malaikat Penggali Kubur angkat sejengkal lagi ujung pedang. Joko lamat-lamat buka kelopak matanya. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur hujamkan pedang di tangan kanannya tepat ke arah mata kiri murid Pendeta Sinting.


Joko hanya bisa pejamkan matanya lagi. Tangan kanannya yang leluasa bergerak masih berkelebat. Namun tidak ada artinya karena hujaman pedang di tangan kanan Malaikat Penggali Kubur lebih cepat!


Setengah jengkal lagi ujung Pedang Tumpul 131 menghujam pada mata kiri pemiliknya, tiba-tiba dari arah lamping batu cadas putih terlihat satu cahaya putih berkiblat. Saat bersamaan satu sosok bayangan putih melayang dari batu cadas putih.


Cahaya putih sejenak mampu menahan gerakan pedang Malaikat Penggali Kubur meski masih tepat di atas mata kiri Joko. Belum lagi Malaikat Penggali Kubur gerakkan pedangnya, satu tendangan telah berkelebat. Malaikat Penggali Kubur angkat tangan kirinya.


Bukkk!


Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya bergoyang-goyang tanpa bergerak dari tempatnya. Belum sampai Malaikat Penggali Kubur berpaling, kembali dari samping batu cadas putih satu cahaya berkiblat. Saat yang sama dari arah sampingnya menderu gelombang dahsyat.


Malaikat Penggali Kubur angkat tangannya yang memegang Pedang Tumpul 131 untuk menangkis cahaya. Sementara tangan kiri mengusap perutnya dengan hadapkan tubuh ke arah mana serangan gelombang datang.

Rate this ebook

Tell us what you think.

Reading information

Smartphones and tablets
Install the Google Play Books app for Android and iPad/iPhone. It syncs automatically with your account and allows you to read online or offline wherever you are.
Laptops and computers
You can listen to audiobooks purchased on Google Play using your computer's web browser.
eReaders and other devices
To read on e-ink devices like Kobo eReaders, you'll need to download a file and transfer it to your device. Follow the detailed Help Center instructions to transfer the files to supported eReaders.