Kembang Darah Setan

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Book 19 · Pantera Publishing
Ebook
115
Pages
Ratings and reviews aren’t verified  Learn More

About this ebook

DEWI Seribu Bunga tidak tahu sampai seberapa lama dia tenggelam dalam gejolak yang membuat dadanya laksana hendak pecah dan air matanya mengalir. Yang pasti, pada satu saat tiba-tiba dia merasa tidak sendirian di tempat itu.


Gadis berparas cantik yang kini telah diangkat jadi murid oleh Dewi Es ini cepat seka air matanya. “Apakah dia mengikutiku?! Kalau benar, apa yang harus kulakukan?! Menemuinya dan memaklumi apa yang baru saja hendak diperbuatnya padaku? Atau langsung saja menggebuknya?! Hem…. Aku memang selalu merindukannya, tapi kalau dia punya niat keji padaku, apa artinya?! Dia baru saja akan bertindak kurang ajar padaku. Manusia macam dia perlu diberi pelajaran agar tidak mengambil korban lebih banyak lagi!”


Dewi Seribu Bunga tegarkan hati. Bagaimanapun juga orang yang akan dihadapinya adalah seorang yang selama ini dirindukan dan orang mana dia telah tetapkan pilihan sebagai labuhan hati. Dia tindih kuat-kuat perasaan bimbang dan ragu. Seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, dia cepat sentakkan kepala ke belakang.


Sesaat sepasang mata Dewi Seribu Bunga membesar. Hanya sejarak lima langkah di belakangnya duduk seorang nenek berambut putih. Sepasang matanya melotot besar. Pada rambutnya yang disanggul tinggi tampak tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini mengenakan pakaian panjang warna coklat. Melihat dirinya diperhatikan, si nenek sunggingkan senyum. Namun karena wajahnya angker, senyumnya tidak membuat Dewi Seribu Bunga merasa lega.


“Gadis cantik…. Apakah keberadaanku di sini membuatmu terganggu?!” menegur si nenek. “Aku tadi sebenarnya hendak mengatakan keberadaanku di sini. Tapi karena kulihat kau sedang terlena, niatku kubatalkan….”


Mungkin karena masih merasa geram dengan peristiwa yang baru saja dialaminya, Dewi Seribu Bunga segera menyahut dengan suara agak keras.


“Kita belum saling kenal! Kuharap katakan siapa kau sebenarnya…!”


Si nenek tersenyum meski terlihat sekali dipaksakan. “Aku seorang perempuan yang telah banyak makan garam kehidupan! Melihat kau berada di tempat sepi begini dan tenggelam dalam isak tangis sampai tidak merasa kehadiran orang lain, aku bisa menebak apa yang saat ini menimpamu! Siapa pun orang yang mengalami apa yang kini sedang menimpamu, pasti akan lebih senang berada sendirian di tempat sepi! Tapi menurutku, itu bukanlah satu-satunya jalan yang dapat mengubah keadaan! Kau akan makin tenggelam…!”


“Harap tidak menduga-duga seenaknya! Aku pun tidak butuh nasihatmu! Kalau kau tak mau sebutkan diri, adalah lebih baik segera tinggalkan tempat ini!”


Si nenek kerutkan dahi seraya memandang lekat-lekat pada gadis di hadapannya. Entah sadar atau tidak, si nenek bergumam. “Kalau saja aku tidak pernah mengalami hal yang sama sepertimu saat masih muda, sudah sejak tadi-tadi aku tinggalkan tempat ini!” Lalu seraya bergerak bangkit, si nenek berkata agak keras.


“Aku Ni Luh Padmi! Selamat tinggal!”


Si nenek yang sebenarnya tidak lain memang Ni Luh Padmi adanya segera putar diri. (Mengenai Ni Luh Padmi baca serial Joko Sableng dalam episode: “Muslihat Sang Ratu”).


“Nek, tunggu!” Dewi Seribu Bunga menahan gerakan Ni Luh Padmi yang hendak melangkah.


Tanpa berpaling ke belakang, Ni Luh Padmi berucap.


“Aku Ingin tahu, apakah kau telah dapat tenangkan diri?! Kalau tidak, percuma kita bicara!” Nada suara si nenek terdengar agak ketus.


“Ucapannya tadi membuktikan kalau dia memang pernah mengalami seperti hal yang saat ini sedang ku alami. Tidak ada salahnya aku berbincang dengannya! Aku perlu orang yang bisa kuajak berbagi rasa….”


Membatin begitu, akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata seraya bergerak putar tubuh.


“Maafkan kalau aku tadi bicara keras padamu. Nek…. Aku….” Dewi Seribu Bunga tak kuasa lanjutkan ucapannya.


Ni Luh Padmi balikkan tubuh. Memandang sejurus pada si gadis yang duduk bersandar menghadap dirinya. Kepala si nenek menggeleng perlahan.


“Aku tahu mengapa kau berkata keras padaku. Aku maklum….” Ni Luh Padmi maju dua tindak lalu perlahan-lahan duduk di hadapan Dewi Seribu Bunga. “Siapa namamu, Gadis Cantik….”


Dewi Seribu Bunga usap sepasang matanya yang dirasa kabur karena masih tergenang air mata. “Nek…. Rasanya tidak ada artinya pujian mu itu. Karena wajah cantik hanya mendatangkan nafsu kotor!”


“Aku tahu…. Itu kita bicarakan nanti. Sekarang katakan dahulu namamu, atau barangkali kau punya gelar? Kulihat dari gerak-gerik mu, kau seorang gadis yang punya ilmu….”


“Aku hanya gadis biasa, Nek! Aku Dewi Seribu Bunga….”


“Nama bagus. Sesuai dengan yang menyandang!” puji Ni Luh Padmi membuat paras wajah Dewi Seribu Bunga merebak merah merona.


“Sayang…. Nasibmu mungkin tidak sebagus namamu! Mau katakan apa yang sedang kau alami, Dewi…?!”


Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab. Parasnya bimbang. Seolah dapat menangkap kebimbangan orang, Ni Luh Padmi segera sambung ucapannya.


“Kita memang baru saling kenal! Di antara kita tidak ada silang sengketa! Lebih dari itu, kita sama-sama perempuan! Aku tidak berniat ikut campur urusanmu…. Tapi bicara dari hati ke hati kurasa tidak ada ruginya bagi kita! Hem…. Namun kalau kau ragu-ragu, memang tidak usah kau katakan!”


“Nek…. Ucapanmu tadi membuatku bertanya-tanya. Apa kau memang pernah mengalami seperti yang saat ini kuhadapi?!”


“Tiap manusia punya pengalaman sendiri-sendiri! Tapi sikap seorang gadis sepertimu mudah sekali ditebak sedang dilanda kemelut apa!” Ni Luh Padmi arahkan pandangannya ke jurusan lain. Tatapannya terlihat kosong. “Asmara…. Dan kecewa! Bukankah itu yang kini sedang menyelimuti hatimu?” tanya Ni Luh Padmi seraya masih memandang jauh.


Dewi Seribu Bunga tidak segera menyahut. Ni Luh Padmi berpaling pada Dewi Seribu Bunga. “Tiga hal yang harus kau lakukan, Dewi…. Pertama, lupakan laki-laki yang membuatmu kecewa! Kedua, cari segera pengganti! Kalau kau tidak bisa lakukan keduanya, pilih paling akhir, bunuh laki-laki yang membuatmu kecewa!”


Dewi Seribu Bunga tersentak mendengar ucapan si nenek. “Dari nada bicaranya, jelas kalau nenek ini pernah disakiti!” Membatin si gadis lalu berkata.


“Tiga hal yang mudah diucapkan. Tapi rasanya tidak mudah melakukannya, Nek!”


Ni Luh Padmi mendadak tertawa panjang. “Itulah kebodohan yang sering dilakukan perempuan! Dia lebih mendahulukan perasaan daripada kenyataan! Dia lebih suka menderita berkepanjangan daripada membuat perhitungan tuntas!”


“Apakah kau sekarang sedang melakukan perhitungan itu, Nek?” tanya Dewi Seribu Bunga.


“Hem…. Kau pintar juga melihat arah bicara orang! Tapi bukan berarti aku akan cerita padamu tentang urusanku….”


Dewi Seribu Bunga tersenyum. “Nek…. Kau tadi mengatakan kita memang baru kenal. Di antara kita juga tidak ada silang sengketa! Kita pun sama-sama perempuan. Aku tidak bermaksud ikut campur urusanmu. Tapi menurutmu tadi, tidak ada ruginya kita bicara dari hati ke hati…. Menurut dugaanku, kau juga sedang di landa asmara, dan kecewa! Dan saat ini kau tengah lakukan pilihan paling akhir….”


Paras muka si nenek berubah. Dia menahan napas dengan kepala mendongak. Namun sejauh ini dia belum buka mulut lagi. Dia seakan masih coba menekan perasaan. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga menunggu dengan dada berdebar keras. Dia kembali teringat akan kejadian yang baru saja dialaminya. Dan diam-diam dia memikirkan ucapan si nenek.


“Apakah mungkin aku dapat begitu saja melakukannya? Dan kurasa sulit untuk mencari penggantinya! Tapi bisakah aku melakukan pilihan terakhir seperti ucapan nenek itu?! Membunuh Joko…?!” Kepala gadis ini bergerak menggeleng perlahan. “Rasanya sulit bagiku melakukan ketiganya….”


“Dewi…,” tiba-tiba Ni Luh Padmi sudah buka suara. “Karena kita sama perempuan, memang ada baiknya kita saling membagi cerita. Tapi kau harus cerita dahulu padaku….”


Dewi Seribu Bunga sejurus memandang pada si nenek. Lagi-lagi si nenek dapat menangkap perasaan bimbang gadis di hadapannya. Tapi kali ini si nenek tidak mau menunggu. Dia segera buka mulut mendahului Dewi Seribu Bunga.


“Siapa laki-laki yang membuatmu berada di sini tenggelam dalam tangis dan kecewa?!”


“Untuk menjaga agar kita tidak saling ikut campur urusan yang lain, bagaimana kalau aku tidak sebutkan namanya?!”


“Hem…. Begitu, terserah padamu!”


Dewi Seribu Bunga memandang sekali lagi pada Ni Luh Padmi, lalu beralih ke bawah sana ke lereng-lereng lembah seraya berkata.


“Pada mulanya aku mendapat tugas dari guruku untuk mencari sebuah benda pusaka. Namun ternyata seseorang telah mendahuluiku! Guruku lantas memerintahkan padaku merebut benda itu dari orang yang telah berhasil mendapatkannya dan membunuh pemiliknya! Tapi aku gagal melaksanakan tugas Guru. Malah aku mulai tertarik pada orang yang seharusnya kubunuh karena orang itulah yang telah mendapatkan benda pusaka itu! Hingga pada satu saat, terjadi peristiwa besar yang membuat guruku tewas! Aku lantas diambil murid oleh seseorang!”


Sejenak Dewi Seribu Bunga hentikan keterangannya, Masih dengan memandang jauh ke lereng lembah, gadis ini lanjutkan keterangan. “Selama berpisah dengan pemuda yang telah mendapatkan benda pusaka, itu, siang malam aku tak bisa melupakannya. Aku selalu ingin jumpa. Namun karena guruku masih mencegah kepergianku, aku terpaksa memendam kerinduan ini! Hingga pada satu kesempatan, guruku mengizinkan aku keluar dari tempatnya. Kesempatan ini tak ku sia-siakan. Aku berusaha mencarinya…. Dan usahaku tidak percuma. Aku jumpa dengannya. Aku sangat gembira. Lebih-lebih setelah dia mengatakan kalau sebenarnya dia juga tidak bisa melupakan ku! Tapi kegembiraan dan tumpahan rindu ku nyatanya tidak berlangsung lama, karena….”


“Dia telah punya kekasih lain! Dan kau melihat dengan mata kepalamu sendiri!” tukas Ni Luh Padmi.


Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala perlahan, membuat Ni Luh Padmi kerutkan dahi. “Kalau hanya punya kekasih lain, mungkin aku masih bisa memakluminya, karena dia adalah seorang pemuda tampan dan berilmu. Gadis-gadis pasti akan berusaha mendekati…. Malah kalaupun dia bersama gadis lain di depan mataku, aku mungkin masih bisa menahan diri. Karena dialah orang yang selama ini memenuhi hari-hari ku…. Kalau aku tidak menyukainya, aku bahkan akan mengatakan suka!”


“Gila! Itu hanya akan membawamu terperosok ke jurang kehancuran! Kau hanya turutkan perasaan! Tanpa menimbang baik buruknya! Bahkan mungkin kau akan mengatakan baik meski dia manusia keji! Bukankah begitu…?! Selanjutnya kau akan rela korbankan nyawa walau demi kehidupannya dengan perempuan lain!”


Dewi Seribu Bunga terdiam mendengar, ucapan keras Ni Luh Padmi. Di hadapannya, si nenek tampak komat-kamitkan mulut. Lalu berucap lagi meski nadanya sudah direndahkan. “Dewi…. Aku dahulu hampir punya perasaan yang sama dengan dirimu. Namun, pada akhirnya aku menyesali semua ketololan itu! Kau tahu apa akhirnya yang kudapat? Duka rana seumur hidup! Dan dendam berkarat!”


“Nek…. Jadi itukah yang membuatmu memilih jalan paling akhir?” Bertanya Dewi Seribu Bunga.


“Aku tahu. Saat ini juga pasti kau tidak bisa melupakannya dan mencari pengganti! Bahkan mungkin kau masih ragu-ragu untuk lakukan pilihan terakhir membunuhnya! Tapi perlu kau ketahui, Anak Cantik…. Itulah akhirnya yang membuatku sengsara! Aku tidak cepat ambil keputusan dan bimbang! Kalau tidak, hari ini pasti aku tidak berada di sini!”


“Hem…. Berarti nenek ini sedang dalam perjalanan mencari kekasihnya dahulu! Dan yang pasti, dia akan membunuhnya!” kata Dewi Seribu Bunga dalam hati. Lalu gadis ini utarakan apa yang ada di dalam hatinya.


“Siapa orang yang saat ini tengah kau cari, Nek…?!”


“Agar antara kita tidak ada yang saling ikut campur urusan, lebih baik kau tak usah tahu siapa orangnya!”


“Dari namamu kuduga kau bukan dari daerah tanah Jawa…. Bukan aku bermaksud ikut campur. Tapi kalau kau berada di sini, pasti orang yang kau cari dari tanah Ni Luh Padmi tidak menyahut. Dewi Seribu Bunga lanjutkan ucapannya. “Nek, aku dilahirkan di daerah tanah Jawa. Sedikit banyak aku tahu siapa orang yang namanya sudah dikenal. Mungkin aku bisa membantumu….”


Ni Luh Padmi tertawa. “Terima kasih…. Tapi aku tidak mau merepotkan mu. Aku memang bukan dari tanah Jawa. Dan orang yang kucari memang di tanah Jawa ini. Lebih dari itu aku telah menemukan orang yang kucari!”


“Ah…. Berarti kau telah membunuhnya…!”


Ni Luh Padmi gelengkan kepala. “Jahanam itu berhasil lolos dari tanganku! Tapi bukan berarti nyawanya akan lama bersemayam di tubuhnya! Ini gara-gara kebodohan ku sendiri!” Entah sadar atau tidak, Ni Luh Padmi akhirnya menceritakan perjalanannya.


“Belum lama berselang terjadi kegegeran di Kedung Ombo. Dari beberapa orang yang kutemui, serta dari penyelidikanku sendiri, aku menduga orang yang kucari akan muncul di Kedung Ombo. Dugaanku tidak meleset. Namun aku sedikit lengah dan terkecoh. Karena jahanam itu muncul di Kedung Ombo dengan menyamar. Aku baru mengetahuinya setelah aku ditolong olehnya.” (Baca peristiwa ini pada episode : “Bara di Kedung Ombo”).


Ni Luh Padmi menghentikan penuturannya sejenak. Lalu lanjutkan ucapannya. “Saat itu aku menyesal! Membiarkan orang yang harus kubunuh memberi pertolongan padaku! Aku memaki diri sendiri yang bodoh dan lengah. Tapi aku juga masih menimbang, kalau saat itu aku membunuhnya, hal itu tak mungkin. Aku turut terlibat dalam kegegeran itu dan terluka. Sementara jahanam itu meski juga terluka, namun saat itu bersama-sama beberapa orang sahabatnya yang ku maklumi berilmu tinggi-tinggi. Hingga aku menindih perasaan dan mencari saat yang baik….”


Kembali Ni Luh Padmi hentikan penuturannya seraya menghela napas panjang. Lalu sambung ucapannya. “Jahanam itu berusaha merayu ku. Tapi sejak pertama kali melangkah dari lereng Gunung Agung, aku telah bertekad untuk mencabut nyawanya, hingga jangankan dia merayu, menyembah tujuh hari tujuh malam mencium kakiku, aku tidak akan surutkan niat! Begitu kami telah terpisah dari beberapa sahabatnya, dia mengatakan hendak mengajakku ke tempat tinggalnya! Saat itulah kupikir waktu yang baik untuk lenyapkan nyawanya. Aku bukan saja menolak diajak ke tempat tinggalnya, tapi aku langsung menyerangnya habis-habisan!”


“Pada mulanya jahanam itu pura-pura tidak mau melawan. Aku tidak peduli! Baik melawan atau tidak, bagiku nyawanya harus putus! Aku menghujaninya dengan beberapa pukulan. Hingga nyawanya hampir saja melayang seandainya tidak muncul seseorang yang menyelamatkannya dan membawanya pergi!”


Ni Luh Padmi mendongak. Wajahnya mengelam. Jelas kalau si nenek coba menekan perasaan geram. Di hadapannya, Dewi Seribu Bunga mendengarkan dengan seksama. Gadis ini belum buka mulut menyahut. Dia seolah menunggu sampai si nenek selesai dengan penuturannya, karena diam-diam dia merasa tidak enak begitu mengetahui kalau Ni Luh Padmi ikut terlibat dalam kegegeran di Kedung Ombo. Karena dia baru saja mendapat keterangan dari Joko apa saja yang terjadi di Kedung Ombo. Dia merasa yakin kalau si nenek telah tahu siapa Joko.


“Aku berusaha mengejar. Tapi keparat yang menyelamatkan jahanam itu berilmu tidak rendah. Dia berhasil hilang dari kejaranku! Bahkan aku juga tidak


berhasil mengetahui siapa dia orangnya! Yang pasti dia adalah seorang perempuan! Mungkin saja gendak barunya!”


“Kau tidak mendatangi tempat tinggalnya?!” Dewi Seribu Bunga bertanya. Gadis ini coba bertanya dengan kaitkan tempat tinggal orang yang dicari si nenek dengan harapan dia akhirnya akan mengetahui siapa orangnya.


“Percuma aku ke tempat tinggalnya. Dia pasti tidak mungkin bersembunyi di sana!”


“Kau tahu di mana tempat tinggalnya?!”


“Aku pernah mengobrak-abrik tempat tinggalnya! Tapi jangan tanya di mana tempat itu!”


Dewi Seribu Bunga simpan rasa kecewanya, Ni Luh Padmi tidak sebutkan di mana tempat tinggal orang yang dicari. Namun gadis ini tidak kehilangan akal, dia bertanya lagi. “Kalau dia seorang yang terkenal dalam kalangan dunia persilatan, tentu dia punya seorang murid. Kau tidak coba mencari keterangan dari muridnya?”


“Jahanam itu memang punya seorang murid! Tapi rasanya percuma juga mencari keterangan dari murid jahanam itu! Karena antara murid dan gurunya tidak ada bedanya!”


“Tidak ada bedanya bagaimana, Nek?!” Dewi Seribu Bunga terus menyelidik.


“Keduanya sama gilanya! Bahkan si murid kurasa akan lebih gila lagi di masa mendatang! Tapi aku tak akan membiarkan murid jahanam itu, karena dia telah berani mempermainkan aku! Dia kelak juga harus mendapat hajaran!”


“Apakah muridnya juga muncul di Kedung Ombo, Nek…?!”


Ni Luh Padmi kali ini tidak segera menjawab. Sebaliknya memandang lekat-lekat pada Dewi Seribu Bunga. “Jangan-jangan kau hendak mengorek keterangan dari mulutku!”


Dewi Seribu Bunga terkejut. Wajahnya merah padam. Namun gadis ini segera sunggingkan senyum seraya menggeleng. “Apa untungnya keterangan darimu, Nek…. Kalaupun aku bertanya, semata-mata karena ingin tahu…. Kudengar seorang pemuda juga muncul di Kedung Ombo saat kegegeran itu terjadi….”


“Hem…. Kau tadi belum katakan apa sebabnya kau tenggelam menangis sendirian di sini!” Ni Luh Padmi alihkan pembicaraan, membuat Dewi Seribu Bunga harus menelan kecewa lagi. Dan pertanyaan si nenek membuat wajahnya berubah murung.


“Kalau bukan karena ada perempuan lain, pasti ada sesuatu yang hebat yang membuatmu kecewa dengan laki-laki pujaan mu itu! Aku ingin tahu…,” ujar Ni Luh Padmi.


“Dia telah menuturkan ceritanya. Tidak baik kalau aku sembunyikan perihal ini. Lagi pula dia tidak akan kuberi tahu siapa adanya orang yang membuatku kecewa….”


Setelah membatin begitu, akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata.


“Dia telah berani hendak berbuat tidak senonoh padaku….”


“Keparat!” Tiba-tiba Ni Luh Padmi memaki, membuat Dewi Seribu Bunga tersentak. Tapi sebelum lebih jauh Dewi Seribu Bunga memberi keterangan, si nenek telah buka mulut. “Pada laki-laki macam begitu kau masih menimbang-nimbang?! Pada laki-laki jahanam begitu kau masih rela keluarkan air mata?!” Ni Luh Padmi tertawa, namun laksana direnggut setan, dia putuskan tawanya sendiri lalu berucap. “Jika saja aku jadi kau, Dewi…. Aku tidak akan pikir panjang lagi! Bukan hanya membunuhnya tiga kali, tapi membetot senjatanya!”


Mendengar ucapan si nenek, paras muka Dewi Seribu Bunga merah padam. Namun gadis ini masih bisa memahami mengapa si nenek sampai berkata begitu.


Dia adalah orang yang baru saja gagal lampiaskan dendam meski telah menemukan orangnya.


“Dewi…,” kata Ni Luh Padmi. “Siapa laki-laki itu?!” Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. “Biarlah dia jadi urusanku sendiri, Nek…. Kau masih punya urusan lain!”


“Tapi setidaknya aku bisa memberi sedikit hajaran pada senjatanya biar tidak berlaku kurang ajar pada gadis-gadis lain! Orang macam dia pasti sudah banyak memakan korban!”


“Ah…. Dugaanmu mungkin tidak benar, Nek…. Mungkin saja saat itu….”


“Gila!” Si nenek telah memotong ucapan Dewi Seribu Bunga. “Pada orang yang telah benar-benar hendak menghancurkan masa depanmu kau masih juga membelanya!”


“Aku tidak membelanya, Nek! Karena menurut penglihatanku selama ini, juga menurut yang banyak kudengar, dia orang baik…. Hanya….”


“Hanya apa…?!” sahut Ni Luh Padmi.


Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini sendiri sebenarnya masih bimbang. Dia masih bingung tak habis pikir mengapa Joko tega hendak melakukan itu padanya.


Melihat Dewi Seribu Bunga tidak menyahut, Ni Luh Padmi segera berkata.


“Kau tidak bisa teruskan ucapanmu. Berarti terusannya adalah, dia orang baik, tapi tingkahnya menjijikkan dan keji! Kau tahu, Dewi…. Seorang laki-laki yang tulus, tidak akan berbuat macam-macam! Apalagi sampai hendak memperkosa mu! Sebaliknya dia akan menjaga perasaan dan kehormatanmu! Kau jangan perturutkan cinta dan cinta! Cinta hanya berkaitan dengan nafsu! Begitu nafsunya terpenuhi, maka dengan sendirinya cinta itu akan pudar dan lenyap!”


“Apa kau mengalami begitu, Nek?!”


“Sialan! Kalau jahanam yang kucari itu sampai berani berbuat begitu, sudah dulu-dulu nyawanya ku cabut dan senjatanya ku rencah!”


Meski ngeri mendengar ucapan Ni Luh Padmi, tapi mau tak mau membuat Dewi Seribu Bunga menahan tawa. Gadis ini hendak buka mulut, namun bersamaan dengan itu, Ni Luh Padmi telah berkata sambil hadapkan wajahnya ke arah barat.


“Sebentar lagi hari akan gelap! Aku harus pergi. Tapi sebelumnya kau mau katakan siapa laki-laki kurang ajar itu?!”


Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. “Kita sudah sepakat tidak akan libatkan diri dengan urusan masing-masing! Jadi biarlah urusan ini kuselesaikan sendiri…. Kalau kita nanti berjumpa lagi, pasti akan kuceritakan padamu siapa dia, asalkan kau juga berterus terang mengatakan siapa orang yang kau cari untuk yang kedua kalinya ini….”


“Hem….” Ni Luh Padmi menggeleng perlahan. “Cinta kadangkala memang membelenggu tangan dan kaki, bahkan mulut! Tapi jika cinta itu pudar, bukan saja belenggunya yang akan lepas, tapi tidak tertutup kemungkinan belenggu itu sendiri yang akan jadi senjata pembunuh!”


Ni Luh Padmi beranjak bangkit Dia memandang sekilas pada Dewi Seribu Bunga. “Satu hal lagi yang harus kau perhatikan, Dewi…. Jangan percaya pada cinta! Karena sekali langkahmu masuk, itulah awal langkahmu menuju kehancuran! Dan sekali kau masuk, tidak mungkin kau menapak langkah untuk kembali!”


Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi tersenyum lalu berkelebat ke arah timur. Dewi Seribu Bunga sejenak perhatikan sosok si nenek. “Ucapannya ada benarnya, tapi terlalu berlebihan…. Hem…. Mungkin karena dia masih dibungkus dengan dendamnya akibat cinta….”


Begitu sosok Ni Luh Padmi lenyap di depan sana, Dewi Seribu Bunga berkelebat menuruni lembah. Namun pikirannya kini tambah bingung. Dan berbagai hal makin sarat memenuhi dadanya.

Rate this ebook

Tell us what you think.

Reading information

Smartphones and tablets
Install the Google Play Books app for Android and iPad/iPhone. It syncs automatically with your account and allows you to read online or offline wherever you are.
Laptops and computers
You can listen to audiobooks purchased on Google Play using your computer's web browser.
eReaders and other devices
To read on e-ink devices like Kobo eReaders, you'll need to download a file and transfer it to your device. Follow the detailed Help Center instructions to transfer the files to supported eReaders.