Shema – Whirling Dervish Dance – bukan hanya media cinta yang dipersembahkan Maulana Jalaluddin Ar-Rumi untuk Tuhannya. Tapi ia selubung spesial yang penuh misteri. Kehadirannya pernah menyemarakkan sudut-sudut kota Konya, bahkan menghentakkan dunia. Cinta itu membumi dalam tarian putar.
Seperti angin membawa gelombang. Seperti planet-planet mengelilingi bumi.
Tapi takdir perjalanannya tetaplah sebuah keniscayaan milik Tuhan.
Dan Shema harus tunduk pada takdirnya.
Dimulai dari seorang duta besar Amerika.
Tidak ada yang percaya semuanya berlangsung sempurna.
Akan tetapi, kenyataannya lebih fenomenal.
Dia hanya membutuhkan waktu 9 bulan untuk melewati semuanya : baiat dan kepercayaan – yang akan membawanya mengetahui rahasia-rahasia besar dalam Whirling Dervish Dance – yang konon membuat seseorang ektase, sanggup menjelajahi dunia mistis dan berada dalam dimensi Ekstra Terestrial ( hubungan dengan makhluk gaib ).
“Selesaikan sumpahmu!” pinta sang Maestro.
“Aku bersumpah menjunjung langit sebagai kesetiaan, menjunjung bumi sebagai kejujuran dan, menjunjung semesta sebagai kebungkaman total.” Sang calon Dervish itu mengucapkan sumpahnya.
“Seandainya kau mengkhianati semuanya, biarlah kau akan menerima konsekwensinya yang mengerikan.” ujar sang Maestro.
“Aku akan menerima konsekwensinya.”
Saat yang sama, secara mengejutkan Profesor Syibil Balqizh mendapat undangan dari sahabat lamanya di Cambridge University.
“Anggap ini sebagai undangan reuni,” kata Kolonel Koslova di akhir faksnya.
Sebuah undangan yang pada gilirannya justru mengharuskan Profesor Syibil Balqizh menggali kembali sejarah dan jejak-jejak bangsa Turki untuk menghentikan seseorang – yang secara mengejutkan telah berhasil melewati tahapan-tahapan sulit untuk mencapai gelar sang Dervish. Sebuah komunitas, ajaran dan ritual yang telah dilarang di bumi Turki.
Profesor Syibil Balqizh pun harus beradu cepat dengan Kolonel Koslova, yang menganggap keberadaan Whirling Dervish Dance sebagai ancaman nasional Turki.
Dan, takdir tetaplah takdir.
Perjalanan tiba-tiba berubah arah.
Ada sesuatu yang salah.
Tidak sesuai dengan rencananya.
ZHAENAL FANANI
Prolog
Sejak memulai ritual ini, ia telah mengawalinya dengan mengenakan pakaian khas. Pakaian warna putih yang melebar di bagian bawah yang menggelembung ketika dibuat berputar. Kopiah tinggi serupa kuluk warna abu-abu yang dililit dengan sorban.
Tetapi malam ini, ia mengenakan pakaian ritual khusus – pakaian warna putih yang melebar di bagian bawah, kopiah tinggi warna merah menyerupai bentuk nisan, kain selempang serupa ikat pinggang kain yang disilangkan di depan tubuh, jubah hitam. Dan, kain hitam penutup mata.
Ia tidak tahu berada di mana.
Sesuai tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun silam, ia selalu hadir sendirian, di tempat itu. Sebuah bangunan yang sudah tidak asing lagi, karena disinilah semuanya dimulai. Sebuah bangunan berkubah hijau yang terletak di satu titik, di Konya, Turki.
Dari jauh, bangunan itu tidak jauh berbeda dengan sebuah masjid.
Memiliki kubah warna hijau setengah lingkaran dan atap bertingkat-tingkat.
Bagian dalamnya berupa ruang-ruang berpintu dan berjendela besar dengan kaca berpatri, lorong-lorong pendek, koridor dan ruangan luas tempat para jemaah serta sebuah mihrab.
Dan malam ini, seperti malam-malam yang ditentukan di hari-hari sebelumnya, ia hadir sendirian. Beberapa lelaki segera menyambutnya, memberinya kain penutup mata. Lalu tanpa ada yang bicara, ia digiring keluar dari tempat itu. Lalu....... segalanya berjalan tidak terduga.
Ia tahu, setelah melewati perjalanan panjang menempuh tahapan-tahapan sulit, malam ini, semuanya akan segera berakhir. Sebuah akhir yang tidak mudah. Ia sudah mengantisipasi terjadinya kejutan-kejutan atau hal-hal yang tak pernah terbayangkan.
Tatkala penutup matanya dibuka, ia mendapati kejutan yang luar biasa itu. Ia bertanya-tanya, barangkali orang lain tidak akan pernah percaya dengan apa yang kini terpampang di hadapannya : sekelompok laki-laki – berjumlah sembilan orang – berpakaian ritual khusus seperti dirinya, duduk di kursi yang ditata berbentuk lingkaran.
“Siapa menyangka!” desahnya terkesima. Matanya mengamati satu persatu sosok-sosok lelaki itu. Ia nyaris tidak menemui kesulitan untuk mengenali mereka, kecuali sosok lelaki yang duduk tepat di hadapannya di atas karpet merah. Dan mengetahui dimana ia berada, malam ini.
Ia mengedarkan pandangan. Ruangan dimana ia berada, berupa ruangan oval. Dindingnya dari marmer putih berpahat, menggambarkan manuskrip gerak sosok seorang penari. Langit-langitnya membentang di ketinggian, kira-kira tiga puluh meter dari lantai, ditopang enam pilar besar.
Malam ini, ruangan oval itu diterangi oleh beberapa cahaya lilin. Dan seketika, ruangan itu menyuguhkan suasana temaram yang nyaris misterius.
Pandangannya terhenti pada sosok lelaki di hadapannya. Dia lelaki mendekati usia 60 tahunan. Wajahnya menggambarkan dimensi kedamaian, kecerdasan dan kemisteriusan yang sempurna. Sepasang matanya kelabu tajam, mencerminkan kekuasaan absolut. Dia adalah sang Maestro Dervish.
“Selesaikan sumpahmu!” pinta sang Maestro. Suaranya tegas, menggema, menelan kesenyapan yang mengudara di dalam ruangan.
Ia menelan ludah.
Jiwanya terguncang.
Ia telah melewati semua perjalanannya hampir tanpa cela. Sebuah perjalanan spesial dalam kehidupannya. Sejak awal, ia merasa yakin dapat melalui semuanya, bahkan ia tidak merasa cemas saat pertama kali mendengar pertanyaan-pertanyaan.
“Kau sudah siap menerima segala konsekwensinya?”
“Aku siap!”
“Kau sudah siap menjalankan semua perjalanannya?”
“Aku siap!”
“Kau sudah siap melaksanakan semua perintahnya?”
“Aku siap!”
Itu terjadi sembilan bulan silam, di sebuah malam, di salah satu ruang di antara ruang-ruang di bawah bangunan berkubah hijau, di satu titik di kota Konya, Turki. Selama itu, ia sama sekali tidak merasakan kegelisahan.
Semuanya berjalan baik-baik saja, bahkan justru ia seperti berkeliaran dalam atmosfir yang datar-datar saja, tidak mengejutkan dan tidak misterius. Ia sudah diberitahu, semua perintah, perjanjian, konsekuensi dan perjalanan terakhirnya.
Akan tetapi, malam ini, tiba-tiba semuanya berubah pada suasana yang mencekam dan di luar kontrol.
Ia tidak tahu, apakah suasana ini terbentuk akibat kehadiran kelompok lelaki itu atau karena ia tengah berdiri di depan sang Maestro Dervish – yang pandangannya memancarkan kemisteriusan yang nyaris mistis.
Sang Maestro di hadapannya berdiri.
Ia sama sekali tidak mengenalinya. Tetapi ia tahu, bahwa lelaki inilah ikon terakhir yang akan dilihatnya, malam ini.
“Selesaikan sumpahmu!” sang Maestro kembali meminta.
Ia menata debaran dadanya. Matanya memandang terukur pada sang Maestro. Dan, ia dapat merasakan kelompok laki-laki itu tengah memperhatikan dan menunggu tak sabar keberaniannya mengucapkan sumpah permintaan sang Maestro.
“Kau tinggal selangkah lagi. Lalu semuanya segera berakhir!” katanya pada diri sendiri, menyingkirkan kebimbangan dan kecemasannya.
Ia menghela napas, lalu dengan lantang berkata.
“Aku bersumpah menjunjung langit sebagai kesetiaan, menjunjung bumi sebagai kejujuran dan, menjunjung semesta sebagai kebungkaman total!”
“Seandainya kau mengkhianati semuanya, biarlah kau akan menerima konsekwensi yang mengerikan!” ujar sang Maestro.
“Aku akan menerima konsekwensinya!”
Gema kata-katanya mengakhiri keheningan ruangan oval itu.
Kemudian, semuanya diam kembali.
Seperti kematian.
***************
ZHAENAL FANANI LAHIR 07 MARET DI DAMPIT, MALANG, JAWA TIMUR.
PENDIDIKAN SD NEGERI DAMPIT 1, MTSN MALANG, MA MALANG DAN UNISMA. BEBERAPA TAHUN NYANTRI DI PONDOK PESANTREN RAUDALATUL MUTA’ALLIMIEN DAN PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SHIROTUL FUQOHA’, GD.LEGI, MALANG.
KURUN 1993 – 1997 MENULIS SERIAL SILAT
PENDEKAR MATA KERANJANG 12 EPISODE ( CINTA MEDIA, JAKARTA ) JOKO SABLENG 53 EPISODE ( CINTA MEDIA, JAKARTA ) PENDEKAR SERIBU BAYANGAN 18 EPISODE ( KARYA ANDA, SURABAYA )
NOVEL YANG TELAH DITERBITKAN :
MADAME KALINYAMAT ( DIVA PRESS, 2009 ) TSU ZHI ( DIVA PRSS, 2009 ) KANTATA ABABIL ( DIVA PRESS, 2010 ) TROY ( DIVA PRESS, 2010 ) THE CRONICLE OF JENGISKHAN ( DIVA PRESS, 2010 ) AEROMATICAL ( DIVA PRESS, 2010 ) SUJUDLAH CINTAMU ( DIVA PRESS, 2011 ) GERBANG DUNIA KETIGA ( DIVA PRESS, 2011 )