Dalam menghadapi peristiwa kematian atau kehilangan sering kali orang hanya berkonsentrasi untuk mendampingi orang dewasa dengan pertimbangan bahwa anak masih kecil dan belum tahu apa yang sedang terjadi. Sebentar juga anak akan melupakan apa yang terjadi dan kembali bermain dengan temantemannya. Pemahaman ini menyebabkan orang dewasa mengabaikan anak-anak dan asal saja menjawab ketika anak bertanya, dengan harapan anak tidak bertanya lagi atau lupa akan apa yang terjadi. Banyak orang dewasa tidak mengetahui bahwa anak juga mengalami kedukaan yang mendalam dan terluka atas meninggalnya orang yang dekat dengannya. Kedukaan itu bahkan bisa mempengaruhi perkembangan anak hingga pada masa dewasa apabila tidak diselesaikan. Tidak jarang terjadi “kedukaan yang tertunda” pada anak. Bagi kebanyakan anak, ditinggal mati anggota keluarga atau orang yang mereka cintai, secara khusus ayah
atau ibu merupakan pengalaman yang membingungkan, bahkan menakutkan. Mereka bingung, siapa yang akan menjaga dan menyayangi mereka selanjutnya, mereka akan merasa sendirian di dunia ini dan merindukan ayah atau ibunya. Setiap anak menghadapi peristiwa kedukaan karena meninggalnya orang yang mereka cintai secara berbeda. Ada anak yang tidak berduka karena relasi dengan orang yang meninggal tidak begitu dekat, namun ada anak yang berduka dan menunjukkan sikap yang berbeda-beda seperti diam, menarik diri dari komunitas, terus menangis, tidak mau ke sekolah atau bertanya banyak hal tentang orang yang meninggal. Ada beberapa kesalahan atau kekeliruan dalam menghadapi anak yang berduka, antara lain dengan mengatakan bahwa ayah atau ibunya yang meninggal sedang tidur nyenyak. Jawaban ini menyesatkan dan membohongi anak dan membuat anak terus menunggu atau bertanya-tanya kapan ayah atau ibunya
bangun. Ada juga yang menjawab bahwa ayah atau ibunya pergi ke Tuhan Yesus karena Tuhan Yesus sayang ayah atau ibunya. Jawaban ini juga tidak tepat karena akan membuat anak berpikir bahwa Tuhan Yesus itu jahat karena Ia telah mengambil ayah atau ibunya. Ada juga yang meminta anak untuk tidak menangis atau sedih dan segera melupakan kematian ayah atau ibunya. Di sini anak dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya. Buku ini menolong kita bagaimana mendampingi anak yang berduka dan tidak meremehkan atau mengabaikan mereka. Bahasa yang digunakan sederhana, yang disertai dengan contoh-contoh yang menarik, sehingga mudah dipahami oleh anak-anak. Memang tidak ada cara yang seragam dalam mendampingi anak yang berduka karena tiap-tiap anak memiliki latarbelakang dan situasi yang berbeda. Namun paling tidak, buku ini memberikan kita wawasan dan pengetahuan bagaimana harus mendampingi anak yang berduka dengan cara bijak dan sesuai dengan perkembangan anak.
Buku: “Alvi, Sang Malaikat Ingusan” merupakan terobosan baru dan sangat penting di tengah langkanya buku-buku yang membahas tentang pendampingan pastoral terhadap anak, secara khusus anak yang berduka. Semoga melalui buku ini kita dapat menolong banyak anak yang mengalami kedukaan karena kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Terima kasih untuk penulis yang memberikan perhatian untuk anak-anak yang selama ini terlupakan.
Rini Handayani, fokus mengembangkan pendampingan bagi semua jenjang usia. Menempuh studi Teologi, Pendidikan Agama Kristen, Konseling Pastoral, dan sedang menyelesaikan studi Doktor Psikologi untuk memperlengkapi diri sebagai upaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi sesama. Pelayanan yang dikembangkan mencakup banyak aspek, di antaranya dalam Bidang Pelayanan di Kidzana Ministries USA (1. Pengembangan Kurikulum 1 for 50, Panduan mengajar bagi anak, remaja, dan pemuda; 2. Profesional Trainer, melatih para pendidik, guru sekolah MInggu, orangtua, untuk mengajar dan mendampingi generasi muda gereja; 3. Pengembangan pelayanan di Indonesia, wilayah Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra). Selain itu, secara personal juga sebagai pengajar bidang Filsafat, Pastoral, Pendidikan, Psikologi, Etika, Konseling bagi mahasiswa, dosen, tenaga profesional, dan umum di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra.