Keberanian pemuda Semarang melawan penjajah sebetulnya tidak datang tiba-tiba. Semangat pergerakan sudah mulai tumbuh di Semarang sejak lama. Perintisnya, antara lain Semaun yang sejak 1917 menjadi Ketua Sarekat Islam Cabang Semarang. Semaun tidak hanya berani mengkritik kebijakan pemerintah Belanda, tetapi juga berani memimpin serangkaian pemogokan. Sepak teriangnya sukses menarik simpati rakyat hingga pelosok desa. Hanya dalam waktu setahun, jumlah anggota Sarekat Islam melonjak hingga 10 kali lipat. Dalam hitungan bulan, Sarekat Islam berubah menjadi organisasi radikal dan menjadi lokomotif pergerakan pemuda Semarang.
Prinsip Semaun yang antikapitalisme dan antiimperialisme dengan cepat menular di kalangan pemuda. Boedi Oetomo yang semula moderat, sejak tahun 1926 menjadi lebih progresifsetelah dipimpin golongan muda. Melihat situasi ini, pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap para aktivis, Akhirnya aktivis yang lolos dari penangkapan melanjutkan perjuangan secara ilegal, bergerak di bawah tanah. Lainnya menyamar dengan masuk organisasi yang tidak dilarang, seperti Parindra dan Gerindo.
Seiring berjalannya waktu, gerakan pemuda Semarang semakin solid dan matang. Pada tahun 1943, secara ilegal pemuda bulat menuntut Indonesia merdeka berdasarkan kedaulatan rakyat. Pada zaman pendudukan Inggris dan Belanda, pergerakan pemuda sudah terorganisasi dengan rapi. Purusara (sekarang RS Kariadi) menjadi pusat kegiatan para politisi. Mereka sepakat tidak mau Indonesia dijadikan barang inventaris yang setelah Jepang kalah perang akan diserahkan kembali ke Belanda. Maka, tidak heran ketika ada pihak-pihak yang mengganggu kemerdekaan Indonesia, pemuda Semarang serentak mati-matian melawan.
Drs. Moehkardi adalah pensiunan Dosen Sejarah di Akademi Angkatan Bersenjata RI (AKABRI) Magelang (1969−1986). Ia dilahirkan di Kendal 11 April 1930. Ia memperoleh gelar S-1 di Universitas Kristen Satyawacana Salatiga pada 1968. Pengalaman menulis diperolehnya di majalah Intisari dan harian Kompas serta media massa lainnya sejak 1970. Dalam Lomba Mengarang “Sejarah Perjuangan” pada 1975, karangannya yang berjudul Pertempuran Lima Hari di Semarang, Oktober 1945, memenangkan Juara Pertama Tingkat Nasional dan memperoleh piala serta piagam penghargaan dari Presiden Soeharto.
Karya tulisnya yang berupa buku adalah:
Sejarah AKABRI (1971);
Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 (1977);
Pendidikan Perwira TNI-AD di Masa Revolusi (1979);
Pendidikan Pembentukan Perwira TNI-AD 1950–1956 (1981);
Mohamad Said Reksohadiprodjo Hasil Karya dan Pengabdiannya (1982);
Magelang Berjuang (1983);
Pelajar Pejuang TGP 1945–1950 (1983);
Sekolah Kadet Surabaya di Mojoagung (1988);
R,Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya Sebuah Biografi (1993);
Mengulang Jejak Sepanjang Tiga Jaman, Sebuah Otobiografi (tidak terbit);
Ex Tentara Genie Pelajar Pasca Perang Kemerdekaan (tidak terbit);
Bunga Rampai Sejarah Indonesia dari Borobudur hingga Revolusi 1945 (2008);
Sendratari Ranayana Prambanan, Segi Seni dan Sejarahnya (2010);
Revolusi Nasional 1945 di Semarang (2012);
Revolusi Nasional 1945 di Surabaya (belum terbit).
Saat penulis menerima Piala Juara I Tingkat Nasional Lomba Mengarang Sejarah Perjuangan, November 1975, dari Presiden Soeharto