Liang Maut di Bukit Kalingga

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Գիրք 22 · Pantera Publishing
5,0
1 կարծիք
Էլ. գիրք
115
Էջեր
Գնահատականները և կարծիքները չեն ստուգվում  Իմանալ ավելին

Այս էլ․ գրքի մասին

Aku tak percaya! Aku tak percaya!” Berkali-kali Pendekar 131 mendesis dengan mata dikedipkan lalu dipentang besar-besar. “Keempatnya sudah jadi mayat ketika ku tinggalkan! Aku tahu pasti mereka terhantam Sapu Tangan Iblis milik nenek itu! Bagaimana mungkin mereka bisa hidup lagi?!”


Hanya sejarak tujuh langkah dari tempat murid Pendeta Sinting berada, tampak empat orang laki-laki bertelanjang dada. Kepala mereka plontos. Paras wajah keempatnya hampir sama dan sangat angker. Karena sepasang mata mereka berempat tidak membentuk ke samping melainkan ke bawah. Demikian juga mulut masing-masing orang. Tidak membujur ke samping tapi ke bawah mengikuti bentuk wajahnya yang lonjong! Mereka bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana kolor. Di sebelah depan bagian kanan mengenakan celana kolor warna merah. Di samping orang ini memakai celana kolor warna hitam. Di belakang si celana kolor warna merah tampak laki-laki yang mengenakan celana kolor warna kuning. Sementara di sebelahnya tampak memakai celana kolor warna hijau! Dari ciri dan tampang masing-masing orang, siapa pun yang melihatnya pasti mengatakan mereka adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Karena di pundak masing-masing orang ini terlihat melintang dua bambu besar yang di tengahnya terdapat sebuah tandu tertutup kain berwarna merah!


“Siapa kalian?!” Murid Pendeta Sinting langsung bertanya dengan mata terus memandang tak berkesip pada masing-masing orang di hadapannya.


Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tangan kirinya seolah memberi isyarat pada ketiga orang lainnya. Ini juga membuktikan kalau si celana kolor warna merah adalah yang menjadi pimpinan.


“Kau bertanya,” kata si celana kolor warna merah buka mulutnya yang membujur ke bawah. “Kami akan menjawab! Kami adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu!”


“Urusan gila apa lagi yang kuhadapi saat ini?!” gumam murid Pendeta Sinting begitu mendengar jawaban orang. Matanya kini beralih pada tandu di atas lintangan bambu yang tertutup kain merah. Joko coba tembusi kain penutup seolah ingin melihat orang di dalamnya. Namun dia gagal mengetahuinya, hingga dia kembali arahkan pandangannya pada satu persatu orang di hadapannya seraya berucap.


“Bukankah kalian telah jadi mayat?! Bagaimana mungkin kalian bisa hidup lagi?!”


“Setiap manusia hanya punya satu nyawa! Tidak mungkin kami hidup lagi setelah jadi mayat!” Yang berkata adalah si celana kolor warna merah.


“Tapi aku melihatnya sendiri! Kalian bertempur melawan nenek bernama Ratu Pewaris Iblis!”


“Kami baru saja mengadakan perjalanan jauh! Selama ini kami belum pernah terlibat sengketa dengan siapa pun!” Kembali si celana kolor warna merah menyahut membuat murid Pendeta Sinting tambah kebingungan.


“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?! Apa penglihatanku yang salah?! Atau apa yang ku alami hanya mimpi?!”


Berpikir sampai di situ Joko ingat bahwa sejenak tadi dia mengalami keanehan. Dia seolah tidak bisa buka mata dan mulutnya, bahkan dia merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bisa digerakkan. “Apa dalam Keadaan begitu itu aku bermimpi?!”


Joko ingat pada pedangnya. Dia meraba ke balik pakaiannya. Dia kembali tersentak ketika mendapatkan Pedang Tumpul 131 tidak ada di balik pakaiannya. “Berarti aku tidak mimpi! Pedangku tidak ada!”


“Siapa yang ada di dalam tandu?!” Joko akhirnya ajukan tanya.


Keempat laki-laki yang baru saja sebutkan diri sebagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama gerakkan kepala masing-masing saling pandang. Belum sampai ada yang buka suara, mendadak tirai kain penutup tandu bergerak membuka.


Murid Pendeta Sinting jerengkan mata besar-besar. Yang terlihat pertama kali adalah sebuah tangan mulus yang baru saja bergerak singkapkan kain penutup tandu.


“Putri Kayangan!” desis Joko mengenali siapa adanya pemilik tangan yang baru saja membuka kain penutup tandu.


Murid Pendeta Sinting segera melompat ke depan. Dia lupa akan keheranannya melihat keempat laki-laki yang dilihatnya sudah tewas di tangan Ratu Pewaris Iblis. Dadanya sudah bergemuruh mendapati pedangnya lenyap dan dia sudah dapat menduga siapa gerangan yang mengambilnya. Maka seraya melompat, dia berseru.


“Putri Kayangan! Harap kau kembalikan pedangku!”


Orang di dalam tandu sesaat terkejut. Dia adalah seorang gadis muda berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang dengan mata bulat.


“Jangan lancang bicara!” Tiba-tiba laki-laki bercelana kolor warna merah membentak. Tangan kirinya diangkat siap hendak lepas pukulan. Sementara ketiga lainnya serentak pula angkat tangan satu masing-masing.


“Putri Kayangan! Kau dengar ucapanku! Kembalikan pedang itu!” Joko kembali berteriak tanpa pedulikan keempat laki-laki yang sudah siap lepas pukulan.


Gadis di dalam tandu sesaat pandangi Joko dari bawah ke atas. Bibirnya sunggingkan senyum. Tangan kanannya bergerak. Terdengar ketukan halus tiga kali. Bersamaan dengan itu keempat laki-laki pemanggul tandu luruhkan tangan masing-masing.


“Boleh aku tahu siapa kau adanya?!” Gadis di dalam tandu buka mulut.


“Kau telah tahu siapa aku! Jangan berlagak tidak kenal!”


“Baiklah! Aku tidak memaksamu untuk mengatakan siapa kau…. Boleh aku tahu pedang apa yang kau suruh kembalikan?!”


“Kau masih juga berpura-pura!”


“Jaga mulutmu, Anak Muda! Jangan menuduh sembarangan!” Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat bicara lagi.


Mendengar sahutan orang, dada Joko jadi panas. Dia arahkan matanya pada keempat laki-laki di hadapannya.


“Kalian boleh memiliki nyawa rangkap tiga! Tapi jangan kau kira aku tak bisa memutus ketiga rangkapan nyawa kalian!” Seraya berkata, murid Pendeta Sinting sudah kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.


Tokoh-tokoh Penghela Tandu saling pandang. Lalu masing-masing orang gerakkan tangan masing-masing turunkan lintangan bambu di pundaknya. Begitu lintangan bambu telah di atas tanah, mereka segera tegak berjajar.


“Kami tidak pernah membuat urusan! Tapi kami tidak akan tinggal diam jika kau berkata yang bukan-bukan!” kata laki-laki bercelana kolor warna merah.


“Apa kalian kira aku juga suka membuat urusan?! Justru junjungan mu itu yang bikin ulah! Dia mengajakku ke sini, lalu merayu ku. Ujung-ujungnya dia mengambil pedangku!”


“Sekali lagi kuperingatkan kau! Jangan bicara sembarangan!”


Murid Pendeta Sinting tertawa panjang. “Apa kalian kira lenyapnya pedangku urusan main-main, hah?!”


“Itu urusanmu! Yang jelas kami baru kali ini jumpa denganmu! Jadi adalah aneh kalau kau tiba-tiba menuduh macam-macam! Jangan-jangan kau hanya pura-pura!”


“Kalian terlalu banyak bicara! Sekarang apa mau kalian?!” kata Joko seolah tidak sabar.


“Kau telah dengar! Kami tidak suka bikin urusan. Tapi kalau kau memaksa, kami akan meladeni kemauan mu!”


“Hem…. Begitu?! Aku ingin tahu, apakah kalian memang punya rangkapan nyawa!”


Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya dan langsung siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Seketika itu kedua tangannya disemburati warna kuning tanda dia telah kerahkan tenaga dalam.


Di depan sana, Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak tinggal diam. Mereka segera bergerak membentuk barisan. Dua di depan dua lagi berada di belakang. Tangan masing-masing sudah pula terangkat.


Sesaat Joko pandangi gerakan orang. Di seberang sana Tokoh-tokoh Penghela Tandu juga memandang tak berkesip. Saat lain, Joko sudah gerakkan kedua tangannya. Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera pula bergerak maju dengan membentuk barisan saling menyilang. Saat bersamaan tangan masing-masing orang juga bergerak.


“Tahan serangan!” Tiba-tiba terdengar seruan dari dalam tandu. Satu sosok tubuh melesat dan kini tegak menghalangi antara Joko dan Tokoh-tokoh Penghela Tandu.


Murid Pendeta Sinting menatap tajam pada gadis yang tegak di hadapannya. Matanya menelurusi sekujur tubuh si gadis seolah ingin mengetahui di mana pedangnya disembunyikan. Namun Joko tidak bisa menduga-duga, karena matanya tidak menangkap pedang miliknya.


“Tidak kusangka sama sekali kalau gadis cantik ini punya maksud buruk! Tapi aku harus berhati-hati…. Dengan hidupnya keempat manusia itu, berarti mereka dan gadis ini punya ilmu langka!”


Baru saja Joko membatin begitu, gadis di hadapan murid Pendeta Sinting yang bukan lain adalah Putri Kayangan sudah angkat bicara.


“Kira harus bicara! Ada yang tidak beres dalam urusan ini”


“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan! Dan yang tidak beres adalah kau sendiri! Kalau kau ingin bicara, serahkan dahulu pedangku!”


Putri Kayangan tersenyum. “Kau harus percaya! Aku dan teman-temanku baru kali ini bertemu denganmu. Maka kita perlu bicara dahulu dan menunda urusan pedangmu!”


Murid Pendeta Sinting tertawa pendek. “Aku perlu pedang itu! Aku tidak perlu bicara panjang lebar yang tidak ada gunanya!” “Pembicaraan kita masih ada hubungannya dengan pedangmu! Dan dari pembicaraan ini kuharap nantinya urusan bisa selesai!”


“Tak ada yang bisa selesai di sini tanpa kau serahkan kembali pedangku!”


“Bruss! Bruss! Bruss! Anak muda…. Jangan turutkan kekesalan hati! Ucapan gadis itu benar. Jadi beri kesempatan padanya untuk bicara! Kalau tidak, kau nanti akan merasa heran dan tambah kesal!” Tiba-tiba Datuk Wahing menyela.


Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Datuk Wahing lalu menjura hormat seraya berkata.


“Gembira sekali hari ini aku bisa berjumpa dengan tokoh besar. Datuk Wahing terimalah hormatku….”


Pada saat Putri Kayangan menjura hormat, keempat laki-laki di belakangnya membuat gerakan sama dengan Putri Kayangan. Mereka bungkukkan sedikit tubuh masing-masing.


Pendekar 131 berpaling pada Datuk Wahing. “Kek! Kiranya tak ada yang perlu dibicarakan antara aku dengan dia! Jelas-jelas aku bersamanya di sini sebelum kau datang! Dia yang mengajakku ke sini! Dia meminta ku bercerita. Aku turuti permintaannya. Lalu dia merayu ku…. Dan akhirnya aku terlelap! Ketika kau datang, tiba-tiba aku siuman! Dia sudah tidak ada di sini! Dan pedangku lenyap! Apa lagi yang perlu dibicarakan?! Semuanya sudah jelas!”


“Bruss! Bruss! Gadis cantik…. Kau jangan membuatku heran dengan ucapan sanjungan yang berlebihan!” ujar Datuk Wahing sambuti ucapan Putri Kayangan. Lalu arahkan pandangan matanya pada Pendekar 131. Dia tersenyum lalu berkata.


“Anak muda…. Kau jangan heran jika kukatakan, ucapanmu benar menurut pandang matamu! Tapi keliru jika nanti kau telah dengar keterangan gadis cantik itu! Jadi, tabahkan hati untuk menunda urusan pedang dan bicaralah baik-baik dahulu….”


“Kek! Kau sepertinya membela gadis ini! Apa hubunganmu dengannya?!”


“Brusss! Heran…. Bagaimana kau bisa mengatakan aku membelanya?! Aku cuma memberi saran! Ini juga untuk kebaikanmu kelak agar kau tidak lagi merasa heran jika bertemu dengan urusan yang sama!”


Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Urusan gila macam apa pula ini?!”


“Ini bukan urusan gila…,” ujar Putri Kayangan. “Kau mau katakan dahulu siapa kau adanya?!”


Joko menoleh pada Putri Kayangan. Dengan enggan dia akhirnya berucap. “Aku Joko Sableng!”


“Melihat sikapmu tadi, tentu pedang yang kau kira kuambil adalah senjata sakti….”


“Bukan hanya sakti, tapi aku bisa celaka kalau pedang itu hilang!”


“Bisa sebutkan nama pedang itu?!”


Joko menghela napas sejenak untuk menindih perasaan. Lalu berkata menjawab.


“Pedang Tumpul 131!”


Tiba-tiba Putri Kayangan membuat gerakan bungkukkan sedikit tubuhnya dan berkata. “Jika demikian saat ini aku sedang berhadapan dengan tokoh rimba persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131! Terimalah hormatku….”


Kali ini meski Putri Kayangan membuat sikap menjura, namun Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak mengikuti gerakan Putri Kayangan. Mereka hanya tegak sambil menatap lekat-lekat pada murid Pendeta Sinting.


Pendekar 131 sendiri tidak sambuti gerakan Putri Kayangan. Dia hanya memandang sambil tertawa. Dalam hati dia berkata. “Ulah apa lagi yang hendak dilakukan gadis ini?! Tapi jangan kira aku bisa percaya lagi denganmu…!”


“Pendekar 131! Aku tidak menyalahkanmu kalau kau menuduhku! Aku….”


“Kau telah mengaku! Serahkan saja pedang itu!” Joko sudah memotong ucapan Putri Kayangan.


“Ucapanku belum selesai…,” ujar Putri Kayangan. “Kau telah mengenaliku juga teman-temanku padahal kita baru saja bertemu. Aku bisa menduga jika sebelum ini kau jumpa dengan seorang gadis berbaju merah yang juga bersama empat laki-laki! Betul?”


Pendekar 131 tidak menjawab. Putri Kayangan tidak marah. Malah sunggingkan senyum lalu lanjutkan ucapannya. “Aku menduga kau baru saja bertemu dengan Pitaloka dan teman-temannya….”


“Kau jangan mengada-ada! Pandanganku masih normal! Aku tidak bertemu dengan Pitaloka! Aku bertemu denganmu!”


Putri Kayangan masih juga sambuti ucapan murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum. “Pandanganmu memang masih normal, Pendekar 131! Namun kau salah pandang. Yang baru kau jumpai bukan aku, tapi Pitaloka! Dia adalah saudara kembar ku! Dia juga punya empat teman laki-laki yang juga saudara keempat temanku itu!”


Pendekar 131 tegak dengan tubuh sedikit bergetar. Matanya mendelik perhatikan lama-lama sekujur tubuh gadis di hadapannya. Lalu beralih pada satu persatu dari empat laki-laki di belakang Putri Kayangan.


“Sebenarnya aku dan teman-teman tidak ingin terlibat dalam dunia persilatan! Namun akhir-akhir ini kami banyak mendapat tuduhan jelek! Padahal selama ini kami tidak pernah berbuat macam-macam! Kami masih coba bersabar, namun tudingan orang nampaknya sudah sangat keterlaluan! Akhirnya kami sepakat untuk menjernihkan masalah ini! Dan kami tahu siapa adanya orang yang melakukannya! Untuk itulah kami mengadakan perjalanan!” Putri Kayangan memberi keterangan.


“Bruss! Bruss! Anak muda…. Kuharap penjelasan gadis itu tidak membuatmu heran dan lebih-lebih bisa kau terima!” Datuk Wahing angkat suara.


Mungkin masih kaget, untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting terdiam. Hanya bola matanya yang bergerak memandang silih berganti pada Putri Kayangan dan keempat laki-laki di belakang si gadis.

Գնահատականներ և կարծիքներ

5,0
1 կարծիք

Գնահատեք էլ․ գիրքը

Կարծիք հայտնեք։

Տեղեկություններ

Սմարթֆոններ և պլանշետներ
Տեղադրեք Google Play Գրքեր հավելվածը Android-ի և iPad/iPhone-ի համար։ Այն ավտոմատ համաժամացվում է ձեր հաշվի հետ և թույլ է տալիս կարդալ առցանց և անցանց ռեժիմներում:
Նոթբուքներ և համակարգիչներ
Դուք կարող եք լսել Google Play-ից գնված աուդիոգրքերը համակարգչի դիտարկիչով:
Գրքեր կարդալու սարքեր
Գրքերը E-ink տեխնոլոգիան աջակցող սարքերով (օր․՝ Kobo էլեկտրոնային ընթերցիչով) կարդալու համար ներբեռնեք ֆայլը և այն փոխանցեք ձեր սարք։ Մանրամասն ցուցումները կարող եք գտնել Օգնության կենտրոնում։