Bidadari Delapan Samudra

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Livro 38 · Pantera Publishing
5,0
1 crítica
Livro eletrónico
120
Páginas
As classificações e as críticas não são validadas  Saiba mais

Acerca deste livro eletrónico

SEPASANG kaki Pendekar 131 laksana disapu gelombang dahsyat hingga tersurut dua tindak, saking kagetnya mendengar pertanyaan orang. Sepasang matanya mendelik besar. Namun dia segera dapat kuasai diri setelah membatin. “Mungkin Dewa Asap Kayangan telah bercerita padanya tentang diriku hingga dia bisa tahu kalau aku berasal dari negeri asing! Dan rupanya perempuan berkerudung tadi berkata benar. Ini adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai…. Hem…. Bagaimana lembah begini bisa dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?! Aku tidak melihat adanya tan


da-tanda yang pantas lembah ini dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai…. Tapi itu tidaklah penting! Yang jelas aku telah menemukan lembah yang kucari…!”


“Pendekar 131! Kau telah dengar pertanyaanku. Kuharap kau segera memberi jawaban!”


“Aku ingin bertemu dengan Dewa Asap Kayangan…”


“Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai bukan tempat tinggalnya Dewa Asap Kayangan! Kau salah alamat jika ingin bertemu dengannya di sini!”


“Tapi Dewa Asap Kayangan berjanji menungguku di tempat ini….”


“Kau jangan bicara dusta! Kapan dan di mana dia mengatakannya?!” tanya orang yang duduk bersila di atas altar batu cadas.


“Tidak lama berselang, di puncak Bukit Toyongga!”


“Hem….” Orang di atas altar batu cadas mendehem. Lalu berpaling ke arah mana murid Pendeta Sinting tegak berdiri. Namun Joko tidak bisa melihat raut wajah orang, karena wajah itu tertutup julaian kerudung putih yang diletakkan di atas kepalanya dan ditekan dengan rangkapan kedua tangannya di depan dada.


“Kakakku Dewa Asap Kayangan memang telah cerita tentang janjinya dengan seseorang! Namun karena ada sesuatu yang harus segera dilakukan, dan yang ditunggu tidak juga segera muncul, terpaksa dia pergi dengan pesan agar aku memberi penjelasan yang diinginkan orang yang hendak menemuinya!”


Habis berkata begitu, orang yang duduk bersila putar kepalanya lagi lurus ke depan. Namun sebelum murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, orang di atas altar batu cadas sudah berucap lagi.


“Dari jawabanmu, sepertinya kaulah orang yang ditunggu! Tapi itu belumlah membuatku yakin jika kau adalah orang yang membuat perjanjian dengan Dewa Asap Kayangan saat berada di puncak Bukit Toyongga!”


Joko kernyitkan dahi. “Aku tak paham apa maksudmu…!”


“Jawaban kata-kata bisa dibuat. Tapi tidak demikian halnya dengan bukti! Dan aku baru percaya kaulah orang yang membuat janji pertemuan jika kau bisa tunjukkan bukti!”


“Bukti apa yang kau minta?!” tanya murid Pendeta Sinting masih dengan dahi berkerut.


“Hasil dari peristiwa di puncak Bukit Toyongga!”


Pendekar 131 terdiam beberapa lama. “Bukti yang diminta pasti peta wasiat itu!” Joko membatin menebak apa ‘yang diminta orang.


“Anak muda! Aku tidak punya waktu banyak untuk menunggu! Kalau kau tidak bisa menunjukkan bukti dari hasil apa yang terjadi di puncak Bukit Toyongga, kuharap kau segera angkat kaki dari sini! Carilah Dewa Asap Kayangan. Hanya saja kau perlu tahu. Kakakku itu tidak punya tempat tinggal tetap….”


“Hem…. Apa yang harus kulakukan?! Di negeri asing begini, rasanya sulit mencari manusia seperti Dewa Asap Kayangan! Tapi mungkinkah adiknya ini bisa memenuhi permintaanku…?! Seandainya saja aku paham daerah ini dan tahu di mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran, mungkin tak sampai aku berurusan dengan orang ini…. Bodohnya diriku! Seharusnya aku bertanya sekalian pada perempuan berkerudung tadi! Dia mau menjelaskan apa yang kuminta tanpa minta bukti segala! Tidak seperti orang yang duduk membaca mantera itu! Sudah wajahnya ditutup, lalu minta bukti lagi!” Joko menggerutu dalam hati.


Lalu buka mulut.


“Aku akan tunjukkan bukti bahwa akulah yang membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan. Tapi sebelumnya aku minta ketegasan….”


“Katakan ketegasan apa yang kau inginkan?!”


“Kau nantinya mau mengantarku jika aku ingin menemui orang lain lagi?!”


“Aku telah berjanji pada kakakku. Dan aku pantang ingkar! Ke mana dan apa pun yang kau minta aku akan berusaha memenuhinya!”


“Hem…. Aku harus pastikan dahulu apakah dia tahu di mana tempat tinggal Dewa Cadas Pangeran….” Joko berkata dalam hati. Lalu buka suara.


“Kau tahu tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran?!”


Yang ditanya perdengarkan tawa perlahan bernada seakan mengejek. Lalu berkata.


“Kau boleh percaya atau tidak. Dewa Asap Kayangan tidak pernah cerita panjang lebar padaku. Dia hanya bilang akan kedatangan seseorang. Tapi aku tahu banyak tentang apa yang telah terjadi!” Orang yang mengaku sebagai adik kandung Dewa Asap Kayangan ini hentikan ucapannya sesaat. Lalu dongakkan kepala dan lanjutkan ucapan.


“Aku tahu tewasnya Yang Mulia Baginda Ku Nang, juga Panglima Muda Lie, dan nenek bergelar Ratu Selendang Asmara, serta Hantu Bulan Emas, dan Bayangan Tanpa Wajah…. Aku juga tahu tentang perselisihan antara gadis bernama Mei Hua dengan Dewi Bunga Asmara dan Siao Ling Ling serta Bidadari Bulan Emas karena memendam rasa padamu! Bahkan aku tahu siapa yang memberi keterangan padamu hingga kau sampai muncul di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai ini! Bukankah yang memberimu petunjuk adalah seorang perempuan berkerudung?! Aku bukan seorang peramal. Tapi aku tahu pasti, perempuan berkerudung itu tidak mau sebutkan siapa dirinya dan di mana tempat tinggalnya meski kau berusaha ingin tahu!”


“Busyet! Bagaimana dia bisa tahu hal sebanyak itu?! Peristiwa di puncak Bukit Toyongga mungkin saja dia mendengar cerita dari Dewa Asap Kayangan walau dia mengaku Dewa Asap Kayangan tidak cerita apa-apa. Tapi mengenai perempuan berkerudung yang memberi petunjuk itu…. Sewaktu aku berbincang dengan perempuan berkerudung aku yakin tak ada orang yang mencuri dengar…. Tapi nyatanya dia bisa tahu…. Hem….”


“Anak muda! Kalau aku tahu semua yang telah terjadi padamu, bagaimana mungkin aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran?! Apalagi dia adalah salah seorang sahabatku?! Sekarang tunjukkan hasil dari peristiwa di Bukit Toyongga sebagai bukti kalau kau adalah orang yang membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan! Setelah itu baru aku bisa menjelaskan apa yang kau minta dan mengantarmu ke mana kau hendak menuju!”


“Boleh aku tahu siapa dirimu?!” tanya murid Pendeta Sinting.


“Kau datang ke tempat ini untuk berkenalan denganku atau minta keterangan?!” Orang di atas altar batu cadas balik ajukan tanya dengan suara agak tinggi.


“Daripada cari penyakit, lebih baik aku segera selesaikan urusan ini!”


Membatin begitu, akhirnya perlahan-lahan Pendekar 131 selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Lalu terlihatlah satu kain putih yang bersambung saat tangan kanannya ditarik keluar.


Seakan tahu apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting, orang di atas altar batu cadas palingkan kepala. Rangkapan kedua tangannya yang menekan julaian kain kerudungnya bergerak membuka sedikit hingga kedua mata orang ini terlihat.


Beberapa saat sepasang mata dari balik Kerudung membelalak memperhatikan kain putih bersambung yang ada di tangan Joko yang bukan lain adalah kain berisi peta wasiat yang didapat di puncak Bukit Toyongga.


Kepala orang di atas altar batu cadas mengangguk pelan. Lalu diputar ke arah depan seraya berkata.


“Anak muda…. Saat ini rimba persilatan masih terguncang dengan kabar berita mengenai peta wasiat. Dan mulai pula tersebar gunjingan tentang urusan Sepasang Cincin Keabadian milik Dewi Keabadian. Dan meski kau bukan berasal dari negeri ini, tapi kau tentu sudah tahu. Di mana-mana rimba persilatan pasti selalu dipenuhi dengan fitnah, balas dendam, pertumpahan darah, dan benda-benda mustika palsu!”


Ucapan orang membuat Joko tersedak. Tanpa sadar dia melompat mendekat dengan dada berdebar tidak enak. Lalu seraya acungkan kain putih di tangannya dia berseru.


“Kau menduga ini palsu?!”


“Kau jangan salah duga dengan ucapanku. Aku tidak mengatakan kain yang ada di tanganmu adalah palsu! Tapi tidak ada salahnya kalau aku memeriksa! Karena aku tahu sendiri, saat di puncak Bukit Toyongga telah muncul beberapa benda palsu yang ada kaitannya dengan kain di tanganmu!”


Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 julurkan tangannya yang memegang kain berisi peta wasiat.


Orang di atas altar batu cadas gerakkan tangan kanan sambuti kain dari tangan murid Pendeta Sinting. Sementara tangan kiri tetap menekan julaian kain kerudungnya hingga wajahnya tetap tidak jelas kelihatan.


Untuk beberapa lama orang di atas altar batu cadas memeriksa kain yang diberikan Joko dengan dekatkan pada wajahnya. Sepasang matanya melirik silih berganti pada kain di tangannya dan pada sosok murid Pendeta Sinting yang tegak memperhatikan dengan dada berdebar-debar, khawatir kalau kain di tangannya adalah palsu.


“Hem…. Kau beruntung sekali, Anak Muda…. Kain bergambar peta ini adalah asli…,” kata orang di atas altar batu cadas sambil angguk-anggukkan kepala.


“Maksud kedatanganku kemari adalah ingin bertanya arah mana yang harus kuambil untuk memulai perjalanan seperti yang ada dalam peta itu. Sekaligus untuk bertanya di mana aku bisa bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran!” kata Joko dengan menghela napas lega mendengar keterangan orang.


“Anak muda…. Aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi katakan dahulu. Urusan mana yang akan kau dahulukan?! Mengadakan perjalanan atau ingin bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran?!”


Joko berpikir beberapa lama. Dia tampak bingung tak tahu mana yang harus didahulukan.


Orang di atas altar batu cadas tampaknya bisa menangkap kebingungan murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.


“Anak muda…. Perjalananmu kelak memerlukan waktu panjang. Kalau urusanmu dengan Dewa Cadas Pangeran tidak begitu penting, menurutku, lebih baik kau selesaikan dahulu urusanmu dengan Dewa Asap Kayangan. Dengan begitu, kau bisa melakukan perjalanan dengan tenang tanpa beban! Tapi itu semua terserah padamu. Aku hanya memberi jalan….”


Pendekar 131 menghela napas berulang kali. Paras wajahnya jelas menunjukkan kalau dia belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.


Orang di atas altar batu cadas tertawa. Lalu sambil letakkan kain peta di atas pangkuannya dia berkata.


“Aku bukannya ikut campur masalahmu. Tapi kalau kau tak keberatan mengatakan urusanmu dengan Dewa Cadas Pangeran, mungkin aku bisa sedikit membantu jalan mana yang harus kau tempuh dalam urusan ini!”


“Hem…. Apakah aku harus mengatakan terus terang apa perluku hendak menemui Dewa Cadas Pangeran?! Ah…. Dia adalah adik Dewa Asap Kayangan. Tak ada salahnya aku berterus terang padanya….” Joko akhirnya memutuskan, lalu berkata dengan wajah sedikit berubah karena merasa malu.


“Sebenarnya urusanku dengan Dewa Cadas Pangeran tidaklah begitu penting. Tapi kalau tidak segera kuselesaikan, seperti katamu, mungkin bisa menambah beban pikiranku….”


“Hem…. katakan saja urusanmu, Anak Muda! Walau aku adik Dewa Asap Kayangan, bukan tak mungkin apa yang akan kukatakan nanti tidak jauh berbeda dibanding jika kau mengatakannya pada Dewa Asap Kayangan!”


“Aku pernah berjanji pada Dewi Bunga Asmara untuk menemui gurunya. Namun sebenarnya janji itu kuucapkan agar gadis itu mau membawaku ke Bukit Toyongga yang saat itu tidak kuketahui di mana letaknya. sayangnya, gadis itu salah paham dan menduga terlalu jauh. Begitu sampai di Bukit Toyongga, ternyata aku tidak sempat bicara dengan gurunya yakni Ratu Selendang Asmara, karena urusan di puncak bukit sudah memanas. Hingga akhirnya Ratu Selendang Asmara tewas….” Pendekar 131 hentikan keterangannya sesaat seraya alihkan pandangan ke jurusan lain takut orang di hadapannya tahu perubahan wajahnya.


Sementara orang di atas batu cadas mendengarkan dengan seksama dengan sesekali melirik pada gerak-gerik murid Pendeta Sinting.


“Setelah urusan di puncak Bukit Toyongga selesai, aku juga belum sempat bicara dengan Dewi Bunga Asmara, karena aku merasa tak enak dengan Mei Hua, dan putri Baginda Ku Nang, serta Bidadari Bulan Emas. Ternyata Dewi Bunga Asmara mengatakan perihalnya pada Dewa Cadas Pangeran yang tiba-tiba saja mengambilnya sebagai murid. Dan sebelum Dewa Cadas Pangeran meninggalkan puncak Bukit Toyongga, dia sempat mengatakan padaku agar menemuinya dengan minta bantuan Dewa Asap Kayangan untuk selesaikan urusanku dengan Dewi Bunga Asmara.”


“Aku mengerti perasaanmu, Anak Muda…. Sekarang jawab jujur pertanyaanku. Kau menyintai Dewi Bunga Asmara?!”


“Sebenarnya dia gadis baik meski gurunya berada di jalur yang salah…. Dia juga berparas cantik. Tapi…. Rasanya aku belum sampai pada titik jatuh cinta…. Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat! Dan hal inilah yang akan kukatakan pada Dewa Cadas Pangeran agar nantinya tidak terjadi salah paham!”


“Anak muda! Sekarang jelas masalahnya. Dan menurutku, sebaiknya kau mengadakan perjalanan dahulu. Urusan dengan Dewa Cadas Pangeran bisa kau tunda….”


“Mengapa begitu?!”


“Urusan perempuan bukan urusan mudah, Anak Muda. Apalagi dia tahu beberapa gadis lain menaruh rasa cinta padamu. Dia memerlukan waktu untuk berpikir dan menenangkan diri! Kalau sekarang kau memberi penjelasan padanya, bukan tak mungkin dia malah akan salah paham dan membuat urusan jadi tak karuan! Waktu yang kau perlukan untuk mengadakan perjalanan kurasa cukup membuat Dewi Bunga Asmara untuk berpikir dan menenangkan diri….”


“Hem…. Benar juga kata-katanya…,” gumam Pendekar 131 seraya anggukkan kepala perlahan.


Tampaknya orang di atas altar batu cadas maklum akan gerakan kepala murid Pendeta Sinting. Sambil mengambil kembali kain peta di atas pangkuannya dia berkata.


“Anak muda…. Setelah kau selesaikan perjalanan nanti, aku menunggumu di sini. Aku akan memberi keterangan padamu di mana kau bisa bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran. Dan terimalah kembali kainmu ini!”


Orang di atas altar batu cadas julurkan tangan memberikan kembali kain putih pada Pendekar 131.


Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil anggukkan kepala. Lalu mendekat dengan sambuti kainnya kembali.


Namun baru saja tangannya menyentuh kain putih di tangan orang, mendadak orang di atas altar batu cadas tarik sedikit tangannya yang mengulur memberikan kain. Kejap lain sekonyong-konyong kaki kanan kirinya bergerak lepaskan tendangan! Bukan hanya sampai di situ, tangan satunya yang sedari tadi menekan julaian kain kerudungnya juga bergerak menghantam!

Classificações e críticas

5,0
1 crítica

Classifique este livro eletrónico

Dê-nos a sua opinião.

Informações de leitura

Smartphones e tablets
Instale a app Google Play Livros para Android e iPad/iPhone. A aplicação é sincronizada automaticamente com a sua conta e permite-lhe ler online ou offline, onde quer que esteja.
Portáteis e computadores
Pode ouvir audiolivros comprados no Google Play através do navegador de Internet do seu computador.
eReaders e outros dispositivos
Para ler em dispositivos e-ink, como e-readers Kobo, tem de transferir um ficheiro e movê-lo para o seu dispositivo. Siga as instruções detalhadas do Centro de Ajuda para transferir os ficheiros para os e-readers suportados.