Dalam historiografi modern, biografi adalah karya sejarah karena di dalamnya selain ada fakta sejarah dan interpretasi dari penulisnya, baik sejarawan peneliti maupun sejarawan penulis. Biografi pada masa lampau biasanya ditulis oleh para wartawan dari media massa, sedangkan pada masa kini sejarawan muda mulai tertarik untuk menulis biografi. Ada kecenderungan bahwa penulisan biografi sering menggiring para penulisnya untuk menuliskan karya-karya yang mirip dengan pujasastra terhadap para pelaku sejarah. Sebagai perhatian utama, para pelaku dan penyaksi lebih banyak ditulis sisi-sisi positifnya daripada sisi-sisi negatif. Kecenderungan ini telah mendudukkan biografi sebagai karya yang tidak kritis dan kurang mendapat perhatian para sejarawan untuk menulisnya, bahkan menghindarkan diri untuk terlibat. Justru kurangnya keterlibatan sejararawan, maka biografi sering dianggap bukan sebagai karya sejarah, tetapi karya jurnalistik yang dipandang sebagai karya sejarah populer atau sejarah naratif sehingga masyarakat awam sulit untuk membedakan antara karya sejarah dan karya sastra.
Unsur pujasastra dalam biografi adalah keniscayaan sehingga banyak tokoh pelaku dan penyaksi tidak mau dibuatkan biografi. Pujasastra sebagai fenomena narasi masa lampau sudah dicontohkan oleh Prapanca dalam karyanya Negarakertagama atau Kakawin Deçawarnnana. Narasi pujasastra tampaknya tidak disukai oleh para sejarawan karena malu dinilai sebagai orang yang “mencari muka” kepada para penguasa. Keengganan para sejarawan sebagai penulis dan tokoh yang merasa belum pantas dituliskan riwayat hidupnya menjadikan karya biografi tidak pernah diperhitungkan.
Biografi yang akan diterbitkan ini menyangkut tokoh yang diangkat sebagai pahlawan nasional yang digantung pada usia
muda, yaitu 25 tahun (1943-1968). Jelas namanya di dalam penulisan sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah lokal agak
kurang bergaung. Usman Janatin atau Janatin adalah produk pejuang dari masa-masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno
dengan kebijakan Ganyang Malaysia-nya. Peristiwa penggantungan Usman dan Harun memang kalah pamor dengan peristiwa yang di satu sisi disebut G 30 S/PKI atau di sisi lain disebut Gestok. Peristiwa 1965 telah menyedot perhatian dan energi para
sejarawan Indonesia hingga sekarang.
...
Arif Saefudin, lahir di Purbalingga, 24 Juli
1988. Jenjang pendidikan dasar dan menengah
ditempuh di kota kalahirannya. Pendidikan S1
ditempuh di Universitas Muhammadiyah
Purwokerto (UMP), lulus 2011 dengan
mengambil program studi Pendidikan Sejarah.
Kemudian melanjutkan ke jenjang S-2 dengan
jurusan yang sama di Universitas Sebelas
Maret (UNS) Solo, lulus 2014. Pernah bekerja
di SMA Negeri 2 Purbalingga sejak 2013
hingga 2017. Pada awal tahun ajaran 2017/2018, berpindah tugas
ke Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN), tepatnya bertugas di
Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) Negeri Sabah, Malaysia.
Selama menjadi guru di SMA Negeri 2 Purbalingga, berbagai
prestasi pernah diraih, baik sebagai pendamping maupun individu.
Tulisan-tulisannya sudah dituangkan dalam berbagai bentuk karya
ilmiah seperti buku, majalah, jurnal ilmiah dan artikel di koran.
Untuk melihat lebih detail tulisan-tulisan lainnya, silahkan kunjungi
di www.arifsae.com. Sedangkan untuk korespondensi, bisa
menghubungi nomor WhatsApp di 085227201878.