Rasanya saya tidak sendiri. Beberapa perusahaan terpaksa harus gulung tikar. Saya belum pernah menemukan orang yang dengan sengaja menutup usahanya dan bangga akan perbuatannya. Dengan demikian, saya berani menyimpulkan bahwa bangkrut merupakan kondisi yang ditakuti dan dijalani dengan terpaksa.
Dalam pelatihan financial revolusioner yang diadakan guru kami Mr. Tung Desem Waringin beberapa tahun lalu, saya dipasangkan bersama seorang pengusaha ayam potong dari Jawa Timur. Kami mengikuti acara “Bangkrut Game”. Kami “terlunta-lunta” di pasar Cipanas, Bogor. Pasangan saya itu jadi pengemis dan berhasil mengumpulkan uang beberapa puluh ribu rupiah. Ada juga beberapa teman lain yang berhasil menjadi pedagang asongan, pengamen, dan berbagai profesi lain. Bagi saya, simulasi itu mengungkit luka lama.
Saya beberapa kali mengalami kebangkrutan. Dampak psikologisnya jauh lebih berat daripada dampak materinya. Rasa malu sebagai pecundang, dihujat karyawan yang pesangonnya belum bisa dibayar, bank yang menyita rumah dan seluruh aset –yang tidak semuanya diperoleh dari hasil usaha—investor yang menganggap saya sengaja menghancurkan perusahaan untuk menutupi penggelapan yang saya lakukan, dan sebagainya. Saya, bersama dua orang sahabat senasib, sama-sama pernah merasakan dinginnya beranda masjid karena kami tidak punya tempat pulang. Dan, masjid–rumah Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang–juga terkunci dari dalam.
Saya tidak ingin mendramatisasi. Saya hanya ingin berbicara dari sisi gelap bisnis yang demikian gemerlap. Sisi yang disimpan rapat oleh mereka yang pernah merasakannya karena takut akan mengurangi “keagungannya” sebagai pengusaha.
Meskipun demikian, saya juga merasa berkewajiban untuk menyampaikan apa yang pernah diungkapkan Napoleon Bonaparte beberapa abad yang lalu; “Tidak ada yang mudah, tetapi tidak ada yang tidak mungkin.” Itulah dunia bisnis. Hari ini disanjung sebagai pahlawan pencipta lapangan kerja, esok dicaci sebagai manusia tak bermoral dan dianggap lari dari tanggung jawab. Hari ini Anda makan malam dengan hidangan sangat mewah di hotel bintang lima, esok hanya bisa minum air keran di tempat wudhu dari sebuah masjid. Subhannalah.... Mahasuci Allah yang tidak mungkin menzalimi umatnya. Allahu Akbar... Mahabesar Allah yang Maha Membolak-balik keadaan.
Bandung, Maret 2012
Penulis
Yana Suryana lahir di Bandung pada 16 Mei 1971. Pendidikan formalnya ditempuh di Fakultas Ekonomi Universitas Bandung Raya hingga semester 7. Pada akhir semester 5, penulis bekerja untuk perusahaan penanaman modal asing (joint ventura) sebagai analist credit. Kuliahnya tidak bisa diselesaikan bukan hanya karena jarak tempat bekerja dan tempat belajarnya dipisahkan kota, tetapi penulis merasa di perusahaan asing inilah “pendidikan” yang sebenarnya diperoleh.
Analisisnya terhadap aspek-aspek perusahaan secara menyeluruh dijadikan dasar keputusan oleh perusahaan untuk menginvestasikan dana di perusahaan klien. Instrumen-instrumen analisis dari perusahaan penanaman modal asing inilah, ditambah dengan berbagai penemuan yang diperolehnya ketika mengelola perusahaan, baik sebagai pemilik (owner), pengelola (manajer), maupun konsultan yang dilakukannya sejak 1995, saat perusahaan asing ini memindahkan area operasinya dari Indonesia ke Thailand karena mereka “berhasil” membaca kemungkinan akan terjadinya krisis ekonomi di awal 2000 yang ternyata terjadi dua tahun lebih cepat.
Pengalaman pribadi, pengalaman rekan bisnis, pengalaman klien--baik yang menyenangkan maupun yang memprihatinkan—selama mengarungi dunia bisnis, telah membuatnya memiliki kesimpulan bahwa mengelola usaha itu tidak mudah. Meskipun demikian, terdapat prinsip dasar yang bisa digunakan sebagai formula untuk mengelola perusahaan. Pendapatnya ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi lebih kepada mengajak para pengusaha kecil dan pemula yang setiap hari jatuh bangun mempertahankan perusahaanya untuk tidak meremehkan ilmu pengelolaan perusahaan.
Dan, ilmu itu kadang tidak bisa ditemukan di bangku perguruan tinggi. Untuk mendapatkan ilmu itu, pengusaha harus senantiasa bersedia belajar dari pengalaman pribadi maupun pengalaman sesama pengusaha. Tanpa sikap terbuka terhadap “hikmah” peristiwa bisnis sehari-hari, pengetahuan pengusaha akan terbatas.
Dikaruniai tiga anak dengan satu istri yang senantiasa setia mendampinginya dalam susah dan senang. Tinggal di tepi sawah karena kecintaannya kepada bidang pertanian. Hobinya membaca dan menulis mendapat tempat penyaluranya ketika memberikan jasa konsultasi untuk penerbit Khazanah Intelektual dan Majalah Percikan Iman. Saat ini minatnya lebih tertarik untuk mendalami Ilmu Agama Islam, terutama kajian sirah dan fiqh. Di samping upayanya untuk mengembangkan perusahaan pertanian, peternakan, dan perikanan terpadu.