Orisinalitas gagasan sufistik Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi terlihat dalam perubahan yang dilakukannya terhadap beberapa konsep ajaran Tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah yang berbeda dari konsep yang diajarkan sebelumnya oleh tokoh-tokohnya di Haramain. Sebelumnya, ajaran Tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah yang dikembangkan di Jabal Qubays memiliki kecenderungan sebagai tasawuf yang hanya bertumpu pada aspek ritual zikir dan amal praktis semata. Di Nusantara, Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi mewarnainya dengan konsep-konsep sufistik yang bersifat filosofis sehingga menjadi lebih falsafī.
Dalam konteks ini, sebagaimana disimpulkan penulis dalam buku ini, Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi mencoba melakukan sintesa antara ajaran tasawuf akhlāqī dan falsafī; dua corak besar ajaran sufistik yang berkembang sebelumnya di Nusantara. Dua konsep tasawuf besar yang disintesakan Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi dalam karyanya adalah ajaran tasawuf akhlāqī yang dikembangkan al-Baghdādī, al-Ghazālī dan al-Sakandarī dan ajaran tasawuf falsafī yang dikenalkan al-Busṭāmī, Ibn ‘Arabī, dan al-Jīlī. Hal itu terlihat dari beberapa konsep ajaran falsafī yang dijelaskan di dalam karyanya ini, seperti konsep waḥdat al-wujūd (transendesi dan imanensi Tuhan), emanasi (al-fayḍ), al-insān al-kāmil dan sebagainya. Sekalipun Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi mencoba menyampaikannya melalui bahasa penuh simbolik dan dalam batas tertentu konsep ajaran falsafinya pun tidak seradikal apa yang pernah diajarkan Ibn ‘Arabī di dunia Islam ataupun Hamzah al-Fanṣūrī di Nusantara.
Pada sisi yang lain, aspek orisinalitas gagasan sufistiknya juga terlihat dari upaya Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi menghadirkan konteks lokal Nusantara dalam ajaran Tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah yang dikembangkannya. Upaya lokalitas ajaran tersebut dilakukannya dengan juga memperhati-kan konteks dan situasi sosio-kultural masyarakat Nusantara sebagai objek dan sasaran dakwahnya. Dalam beberapa bagian konsep ajaran yang dikembangkannya terlihat sangat berbeda dengan konsep-konsep tasawuf yang dikenal di Dunia Islam umumnya dan juga di kalangan Tarekat Naqshabandiyah khususnya. Hal itu terlihat dari konsep ajaran tentang sulūk, rābiṭah, kewalian, karāmah awliyā’ dan sebagainya.
Selanjutnya, orisinalitas gaya bahasa seperti yang dielaborasi penulis dalam buku ini terlihat pada kekayaan pilihan gaya ungkapannya dan juga banyaknya modifikasi gaya bahasa Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi dalam menyampaikan ide dan ajaran sufistiknya. Bahkan, dalam konteks tertentu tidak jarang Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi menghadirkan pola gaya bahasa yang tidak lazim atau bahkan bisa dianggap keluar dari ketentuan gaya bahasa yang berlaku pada kesusasteraan Arab konvensional, baik dalam hal pilihan kata, gaya kalimat, bahasa figuratif hingga ritme dan rimanya. Akan tetapi, fenomena tersebut tentu saja harus dipahami dalam konteks kreativitas Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi dalam membuat bahasa puisinya agar terlihat lebih kreatif dan terasa lebih estetis.
Dalam konteks gaya bahasa ini, Syofyan Hadi berargumen, Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi lebih mengutamakan aspek kreatif dalam bahasa puisinya daripada mengikuti aturan normatif bahasa Arab; Sebuah pandangan dan konsep kreativitas yang cukup radikal dalam konteks kesusasteraan Arab. Dalam sejarah kesusasteraan Arab semenjak masa Jahiliyah, kreativitas dalam menyusun gubahan puisi tidak boleh melanggar aspek normatif yang baku dan berlaku dalam bahasa Arab. Dalam konteks tradisi ilmu tata bahasa Arab, terdapat kesepakatan ahli bahasa bahwa argumentasi bahasa (al-shawāhid al-lughawīyah) ada tiga macam; al-Qur’an, Hadis dan puisi Arab. Ini memberikan bukti puisi Arab sekalipun merupakan bahasa kreatif, tetapi ia tetap berada dalam ikatan aturan tata bahasa yang berlaku normatif.
Dalam aspek gaya bahasa ini terlihat sisi kreativitas Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi yang terkadang cenderung radikal. Jika dia dihadapkan pada pilihan antara mengikuti aturan normatif struktur bahasa Arab dengan kreativitas berbahasa demi mencapai aspek estetisnya, Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi lebih memilih aspek estetis dengan mengesampingkan aspek formalistik. Namun demikian, fenomena kreativitas Syaikh Isma‘il al-Minangkabawi yang dianggap berada di luar mainstream kesusasteraan Arab konvensional, menjadi argumentasi kuat orisinalitas karya puisinya tersebut.
Buku ini merupakan kajian pertama yang mengkaji puisi sufistik yang ditulis dengan bahasa Arab dalam bentuk manuskrip dan ditulis ulama Nusantara. Harus diakui, kajian dengan objek manuskrip yang menggunakan bahasa Arab sebagai medianya, apalagi puisi Arab masih sangat terbatas dan langka. Oleh karena itu, kajian ini sepatutnya menjadi stimulus bagi peneliti lain untuk juga melakukan kajian mendalam atas karya-karya ulama Nusantara lain yang ditulis dengan Arab, terutama dalam bentuk puisi Arab. Ini bertujuan bukan hanya sekedar untuk menunjukan kekayaan khazanah intelektual masyarakat Nusantara, namun lebih jauh juga untuk membuktikan kepada dunia, ulama Nusantara ternyata tidak kalah hebatnya dari ulama Timur Tengah.