PONSEL RAHASIA SUAMIKU

· MDP
3.8
4 reviews
Ebook
689
Pages
Ratings and reviews aren’t verified  Learn More

About this ebook

Aku menunggu Mas Gio di dalam rumah keluar dari mobil. Katanya mau makan, tapi tak kunjung datang. Kebiasaan Mas Gio berlama-lama di mobil kalau sudah sampai di rumah. Entah apa saja yang dia lakukan.

Nasi dan beberapa lauk sudah dihidangkan di meja makan. Aku dan Bi Tumini selalu bekerja sama soal menyiapkan makanan. Memasak pun selagi aku masih santai di rumah, pasti membantunya. Bagiku seorang asisten adalah orang yang paling berjasa pada keluarga kami.

“Bi, buat air hangatnya. Saya kelupaan,” pintaku pada Bi Tumini sembari merapikan gelas dan piring di meja.

“Sudah saya buat, Bu. Tinggal makan, kok,” sahutnya. Dia juga tak mau diam kalau sudah berada di dapur. Ada saja yang dilakukannya. Itulah yang membuat aku sulit untuk melepaskannya.

“Bentar, saya panggil Bapak dulu.”

Aku menuju pintu depan, lalu ke halaman dengan menuruni tiga anak tangga. Benar, Mas Gio masih saja berada di dalam mobil dan belum membuka pintunya.

Pintu kuketuk, kulihat Mas Gio tengah asyik merapikan mobil. Termasuk tisu, pewangi yang menempel, juga beberapa bantal yang ada di jok tempat biasa aku duduk.

“Buka, Mas.”

“Buka apaan?!”

“Ya, buka pintunya lah, Mas. Masa ngurung terus di sini. Ngapain aja sih dari tadi nggak keluar-keluar?!”

“Bisa sabar nggak sih?! Bawel!”

Buka, ih!”

“Bentar,” sahutnya seraya memberi isyarat melalui tangan.

Ngapain sih Mas Gio? Merapikan benda begitu saja sampai setengah jam lamanya. Bagiku itu tidak penting-penting amat, tapi dia betah di dalam mobil.

“Mas Cuma ngerapiin mobil?”

“Iya, Sayang. Mas nggak suka kalau barang-barang dalam mobil berantakan.”

“Tumben,” gumamku.

“Apa kamu bilang, Sayang?”

“Enggak, kok. Yuk, masuk. Aku nungguin Mas dari tadi mau makan. Mas malah nggak nongol-nongol.”

Sebelum memasuki rumah, aku mendengar suara ponsel di dalam mobil. Sementara kulihat Mas Gio memegang ponselnya di tangan sebelah kiri. Ah, mungkin suara itu bukan dari dalam mobil. Melainkan di rumah tetangga sebelah.

“Mas, kok ada suara HP ya?”

“Mana ada. Kan, HP Mas ini.” Dia menunjukkan ponselnya.

“Tapi aku yakin itu suara HP, Mas. Apa Mas punya HP yang lain selain ini?”

“Eng-enggak, kok. Untuk apa coba HP banyak-banyak.”

“Tapi Mas, denger deh. Kayaknya—“

“Sudahlah, Mona. Telinga kamu terlalu peka dengan hal yang tak terdengar. Jangan curiga sama Mas. Mas nggak suka!”

Kenapa Mas Gio harus marah dan ketus bicara padaku kalau memang ucapanku tidak benar? Setelah melihat Mas Gio gelagapan, aku makin curiga.

Aku meminta Mas Gio kembali membuka pintu mobil untuk suara ponsel yang barusan kudengar. Apa mungkin Cuma aku yang mendengarnya? Mustahil sekali jika benar.

Tentu saja permintaanku ditolaknya. Dia meyakinkan aku kalau suara ponsel yang terdengar tadi adalah milik tetangga. Hatiku mulai tak enak lantaran wajah Mas Gio terlihat pucat dan cara bicaranya sedikit gugup.

Terpaksa mengabaikan Mas Gio karena perutku sudah sangat lapar.

Di meja makan. Mas Gio tampak gelisah. Piring yang sudah di depannya belum diisi nasi. Biasanya kalau sudah duduk, dia langsung mengambil nasi beserta lauknya.

“Mas, makan dong. Katanya sudah lapar,” ucapku.

“I-iya, Sayang. Mas makan, kok,” jawabnya gelagapan.

“Mas kenapa? Ada masalah di kantor?”

“Enggak, kok. Nggak ada masalah.”

Mas Gio mengambil nasi dan meletakkannya ke piring, tapi hanya sedikit. Tak biasanya Mas Gio dalam keadaan lapar mengambil nasi hanya sesendok saja. Kemudian memakannya tanpa menggunakan sayur dan ikan.

“Mas kayak orang linglung aku tengok. Apa Mas sakit? Perasaan tadi baik-baik saja, kok,” tegurku.

“Enggaak. Mas nggak sakit, kok,” sahutnya dengan cepat.

“Tapi—“

“Ssstt, sebaiknya kamu makan juga, Sayang. Jangan banyak nanya. Yuk, makan.”

Mas Gio sedikit berbeda hari ini. Memang hari-hari sebelumnya juga ada perasaan aneh kulihat, tapi tak seaneh ini.

Tak sampai lima menit, Mas Gio sudah menghabiskan makanannya, lalu pergi ke arah ruang tamu dengan tergesa-gesa. Entah apa yang ingin dia lakukan dengan gerakan secepat itu.

“Bi, Bibi yang ngerapiin semuanya, ya. Saya mau ke depan dulu,” pesanku pada asisten.

“Iya, Bu. Saya yang rapiin. Tinggal aja, Bu.”

Setelah Bi Tumini merespon, aku langsung menuju ruang tamu untuk memastikan apa yang dilakukan Mas Gio di sana.

Tak ada sesiapa pun di ruangan tamu berukuran besar. Aku mencarinya ke kamar, siapa tahu Mas Gio tidur karena kekenyangan. Namun, dia juga tak ada di sana. Aku kembali keluar dan mencarinya ke beranda. Mungkin Mas Gio lagi menikmati angin sepoi-sepoi yang lumayan asyik.

Hasilnya tetap nihil. Aku melirik ke segala arah, tak juga terlihat. Tak lama seperti ada yang bergerak di dalam mobil. Ternyata Mas Gio ada di sana.

“Mas! Mas!” panggilku dengan nada tinggi agar suaraku terdengar.

Mas Gio menatapku dan keluar dari mobil.

Aku pun tak mau kalah. Langsung saja mendekat padanya untuk mengetahui apa yang dia lakukan.

“Mas ngapain? Kok, kayaknya ada sesuatu di sini?”

Aku yakin kalau pertanyaanku membuat dia gelagapan. Aku sendiri tak tahu apa yang dia rasakan. Hanya menebak saja.

“Enggaak. Mas nggak lagi ngapa-ngapain, kok. Kok, kamu sudah selesai makannya?”

“Mas itu kalau ditanya pasti jawabnya enggak-enggak terus. Kenapa, sih? Lagian aku makannya juga lebih lama aku daripada Mas. Eh, Mas malah di sini.”

“Udah, yuk ke dalem. Mas Cuma mau mastiin. Apa kunci mobil benar-benar sudah diambil. Takut kalau nantinya Thea sama Phindie masuk ke mobil dan memutar kunci.

Aku percaya dengan ucapan Mas Gio, tapi dari firasatku, sepertinya ada sesuatu yang berbeda. Ah, aku tak boleh curiga pada suamiku. Apalagi harus berburuk sangka. Bisa-bisa apa yang dipikirkan terjadi pula nantinya.

***

Hari Minggu tepat di pagi hari pukul delapan. Ketika ingin memasak, aku membuka lemari es untuk memeriksa bahan-bahan. Beberapa diantaranya telah habis. Seperti biasa, aku ke pasar untuk belanja keperluan dapur. Bi Tumini tinggal mengolahnya saja untuk makan sehari-hari. Kalaupun ada yang kurang, dia pergi ke warung untuk membelinya.

Kebetulan mobil yang biasa kupakai baru saja dibawa pulang dari doorsmeer oleh pekerjanya. Aku ingin mengendarai mobil Mas Gio karena terlihat kotor.

“Mas, pinjam mobilnya, dong.”

Mas Gio masih saja menyibukkan dirinya menggeser layar ponsel. Sampai-sampai dia tidak mendengar apa yang kubilang.

“Mas, Mas,” panggilku sembari memegang bahunya agar merespon.

“Apa, Sayang? Mas lagi fokus,” sahutnya masih dengan menatap benda yang dari tadi menyita perhatiannya.

“Aku mau ke pasar. Pinjem mobil, dong,” ucapku.

“Ha, apa?”

“Mas, aku pinjem mobilnya, ya. Mau belanja ke pasar sama Bi Tumini.”

“Owh, Bi Tumini,” jawabnya singkat.

“Kok, jawabnya Bi Tumini? Ah, Mas ini gimana, sih?” Aku jengkel melihat reaksi Mas Gio.

“Apa tadi, Sayang?”

“Mas, tengok aku dulu.” Wajahnya kuarahkan padaku dengan tangan.

“Kamu tinggal bilang.”

“Bilang apa, Mas?”

“Ya, tadinya kamu bilang apa? Kurang jelas.”

“Kok, kurang jelas? Mas yang nggak jelas. Udah diulang-ulang, masih aja nanya ada apa. Mas ini nyebelin!”

“Oke, oke. Coba bilang sekali lagi. Mas pasti dengerin.”

“Mana kunci mobil? Aku mau ke pasar.” Sembari menengadahkan tangan.

“Naek motor aja. Belanja aja pakai mobil. Mau di mana parkirnya nanti?”

“Mas, yang mau dibelanjakan banyak. Kalau naek motor, pasti nggak muat.”

“Pakai mobil kamu aja. Mobil Mas jorok.”

“Ya, Justru itu pakai mobil Mas. Mobil aku bersih banget. Sayang mau dipakai ke pasar.”

“Ya, udah. Yuk, Mas antar,” ajaknya.

“Mas lagi sibuk. Lagian aku sama Bi Tumini. Masa Mas mau ikut juga. Nanti bosen, bolak-balik nelepon aku. Males ah, didesak-desak. Akhirnya banyak yang kurang belanjaannya,” keluhku.

Mas Gio tetap memaksakan dirinya untuk mengantarkan kami. Memang Mas Gio sering ikut saat aku dan Bi Tumini ke pasar, tapi harus dirayu dengan membutuhkan waktu. Kalau sudah melihat aku merajuk, barulah dia mau ikut mengantarkan.

“Mas yang deluan masuk,” pesan Mas Gio.

“Lah, biasanya Mas nggak pernah bilang gitu. Kenapa, sih? Kok, Mas agak beda perasaan.”

“Biar mengikuti sunnah, Sayang. Terlihat sopan dan menghormati suami,” jawabnya.

Memang benar apa katanya, tapi tak seharusnya Mas Gio berubah sedrastis ini. Apa memang saat ini suamiku sedang menuju hijrah? Atau aku yang masih belum bisa menerima perubahan dari Mas Gio? Namun, setidaknya berlahan untuk bisa berubah.

Ratings and reviews

3.8
4 reviews
Rita Cahayani
October 15, 2023
ceritanya gaje
Did you find this helpful?

Rate this ebook

Tell us what you think.

Reading information

Smartphones and tablets
Install the Google Play Books app for Android and iPad/iPhone. It syncs automatically with your account and allows you to read online or offline wherever you are.
Laptops and computers
You can listen to audiobooks purchased on Google Play using your computer's web browser.
eReaders and other devices
To read on e-ink devices like Kobo eReaders, you'll need to download a file and transfer it to your device. Follow the detailed Help Center instructions to transfer the files to supported eReaders.