Demokrasi yang mensyaratkan keterbukaan telah memunculkan imbas berlipat dalam bentuk krisis ekonomi yang lebih parah. Keterbukaan dan kebebasan yang menghidupkan demokrasi telah menciptakan radikalisme pemeluk agama dan anarkisme yang berujung pada instabilitas politik domestik. Kondisi buruk yang berkepanjangan membawa beberapa negara baru ke wilayah abu-abu dengan ketidakjelasan prospek demokratisasi mereka (Wolfgang Merkel, 2003). Hampir lima dasawarsa sesudahnya, Amartya Sen (1998) mendukung tesis Huntington melalui tesis empiriknya bahwa kemiskinan terus berlangsung akibat alokasi kewenangan politik (kekuasaan) yang tidak adil. Kondisi itu telah menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Karenanya, demokrasi harus menjadi solusi, agar bisa berlangsung pembagian kewenangan politik, hukum, dan kekuasaan yang memungkinkan dilakukannya alokasi sumber-sumber daya ekonomi melalui pembuatan kebijakan pro-rakyat banyak yang tingkat kesejahteraannya masih rendah.
Di Milenium baru, para pemimpin negara dihadapkan pada pertanyaan, apakah mereka akan kembali ke titik awal, kembali mengaplikasikan sistem otoriter di bawah rezim sipil atau militer, ataukah tetap mempertahankan demokrasi sebagai pilihan terbaik yang relatif? Telah dipertanyakan, bisakah demokrasi melahirkan kembali kepercayaan masyarakat di banyak negara yang telah menjatuhkan pilihan padanya untuk menciptakan kesejahteraan ketika sinisme terhadapnya meningkat? Buku ini mengungkap perjalanan Indonesia yang rawan di masa transisi demokratis dan pergulatannya dalam mewujudkan konsolidasi demokratis yang tidak kunjung diraihnya.