Perbedaan yang terdapat di tengah masyarakat sering digunakan elit untuk mencapai hasratnya yaitu kekuasaan. Pada kelompok tertentu perbedaan diproduksi dan dipertentangkan untuk mengambil simpati masyarakat yang dominan sedangkan di sisi yang lain para elit mensyukuri perbedaan malah merangkul kaum minoritas. Sikap yang berbeda ini diperankan para elit untuk mendapatkan dukungan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Legislatif (Pileg).
Jilbabisasi merupakan salah satu contoh yang dipraktekkan para elit sebagai wacana yang diperebutkan. Wajib jilbab semakin popular menjelang Pilkada dan Pileg. Istilah wajib jilbab disosialisasikan para guru di bangku sekolah baik secara hegemoni maupun dengan cara dominasi. Menjadi suatu hal yang biasa dan wajar bagi orang yang bukan beragama Islam menggunakan jilbab dalam aktifitas sehari-hari. Mereka yang bukan Islam menerima wajib jilbab menjadi suatu keharusan padahal dari segi aturan tidak mempunyai dasar hukum.
Implikasi wajib jilbab yang berlaku di Kota Bukittinggi mengakibatkan identitasnya semakin kabur. Jilbab yang menjadi identitas Islam secara umum mengalami pergeseran karena jilbab bukan lagi identitas Islam. Jilbab sudah masuk ke gereja dan juga vihara. Wacana wajib jilbab mengakibatkan kekacauan identitas.