Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang kali terjadi di konsesi-konsesi perizinan perusahaan. Hutan hilang, satwa terancam. Jutaan warga terdampak, mereka terpaksa menghirup asap beracun. Air laut, sungai, dan udara tercemar polusi industri, dan beragam masalah lingkungan lain.
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup ini? Pertanyaan mendasar ini harus dijawab bersama. Pertanyaan ini ditujukan kepada semua orang. Meskipun begitu, semua harus memahami problem dasar dari kerusakan lingkungan hidup yang terjadi.
Kerajaan modal yang dipimpin perusahaan transnasional (transnational corporations/TNCs) harus menjadi asumsi dasar dalam melihat kejahatan lingkungan (kejahatan ecocide). Sementara itu, kapitalisme, sebagai suatu sistem ekonomi politik, sangat penting untuk dipahami sebagai akar dari kerusakan lingkungan hidup dan krisis ekologis. Tujuannya, agar kita tak gagap membaca dan memahami dalam membawa masuk berbagai pendekatan, perspektif, serta perjuangan lingkungan hidup dalam misi menyelamatkan ekologi.
Sayangnya, hukum internasional belum mampu menjangkau krisis akut ini. Dalam beberapa dekade terakhir, hukum internasional telah menciptakan badan hukum yang solid tentang hukum pidana internasional, tetapi belum mengikutsertakan kejahatan lingkungan hidup sebagai bagian yang mengancam perdamaian umat manusia di dunia. Rezim hukum pidana internasional saat ini dapat dikategorikan sebagai suatu kelalaian dan abai terhadap masalah yang satu ini.
Meski ada beragam perjanjian menangani perilaku dan komitmen lingkungan hidup, belum ada perjanjian yang mengkodefikasi hukum lingkungan hidup atau mengkriminalkan perusakan lingkungan hidup sebagai bagian kejahatan internasional luar biasa.
Buku ini dimaksudkan untuk mengenalkan dan membangun pemahaman ecocide sebagai sebuah diskursus bagi kalangan pemangku kebijakan, sivitas akademika, dan aktivis pergerakan serta masyarakat luas. Atau, bagi mereka yang peduli terhadap isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, sumber daya alam, ekologi, dan agraria.
Buku ini juga menyinggung apakah kejahatan ini dapat masuk dalam hukum di Indonesia, mengingat Indonesia sudah memiliki UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini mengakui dua kejahatan berat HAM, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genocide. Jadi, untuk melihat peluang bagi amandemen undang-undang ini.
M. Ridha Saleh dilahirkan di Palu, Sulawesi Tengah, tahun 1970. Menyelesaikan pendidikan pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tadulako. Saat ini sedang mengambil program magister di salah satu universitas di Jakarta, bidang studi ekonomi politik.
Semasa mahasiswa aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, pernah menjabat Ketua Umum Senat Mahasiswa dan Pemimpin Umum Pers Mahasiswa di Universitas Tadulako, juga aktif di berbagai kegiatan ekstra kampus.
Aktif menulis di berbagai media baik cetak maupun online, menulis beberapa buku, dan memelopori pembangunan wacana Ecocide di Indonesia. Menjabat Deputi Direktur WALHI (2002-2006), dan terakhir menjabat Wakil Ketua Komnas HAM RI 2007-2012. Saat ini menjabat Direktur Advokasi Rumah Mediasi Indonesia