Pada waktu membaca bab 2, Kumpulan Catatan Renungan Kala Diri Berjarak Dengan Kemerdekaan 2, saya sangat sulit menahan air mata saya. Bagaimana tidak, dalam situasi dan kondisi yang dalam pemahaman banyak orang serba negative, justru sahabat-sahabat yang di “dalam” justru mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat yang di curahkan Allah swt. Allahuakbar…
Oleh : Afit Juliyat, MA
Alumni Gontor, Alumni Universitas Islam Sudan Africa.
Pengasuh Ponpes Andalusia Banjarnegara
Siapa yang mau seperti Nabi Yusuf yang memilih penjara fisikal agar ia tak terpenjara secara metaforik. Hidup di tengah kekangan hawa nafsu adalah penjara sebenarnya, itu lebih buruk, maka lebih baik dipenjara di antara jeruji dengan hati yang penuh kebebasan. Siapa yang mau “senekad” Nabi Yusuf. Semua orang juga akan menyatakan doa seperti Nabi Yusuf adalah kebodohan, penjara kok lebih disukai?
Tapi tulisan-tulisan di buku ini bisa merubah anggapan itu. Doa Nabi Yusuf ternyata benar, penjara memberikan kronik kehidupan yang lain. Penjara memberikan pelajaran kehidupan tertentu, penjara seperti “tempat uzlah” bagi para penulis buku ini. Bila para sufi zaman dahulu menyepi di hutan atau tempat terpencil, beberapa penulis ini mendapatkan kesadaran justru di dalam penjara.
Oleh : DR. Bambang Q Anees
Ketua Prodi Magister Religious Studies, PPs UIN Sunan Gunung Djati Bandung