Untuk ke sekian kalinya akhirnya aku yang membayar pektan COD miliknya. Bu Haminah atau yang lebih sering kupanggil Bu Minah. Dia adalah tetangga baru yang setiap hari selalu ada saja barang-barang yang dibelinya melalui online.
Tetangga baruku ini cukup menguras emosi, padahal baru enam bulan dia pindah ke sini. Selalu saja ada hal yang membuatku rasanya darah tinggi.
“Nih, ya, cuma duit receh segitu, kamu pikir saya gak bisa bayar!” Bu Minah melemparkan uang tiga lembar seratus ribuan ke wajahku. Lalu memutar tubuh hendak melangkah pergi.
Aku menatapnya tajam. Gigiku gemelutuk menahan kesal. Ingin rasanya aku mengatakan padanya jika aku adalah putri tunggal dari pemilik perusahaan tempat suaminya bekerja. Namun waktunya belum tepat sekarang.
“Bu Minah, Ibu di ajari sopan santun tidak? Walau usia saya lebih muda, tapi tolong jaga tata krama, Bu Minah jangan selalu merasa di atas angin karena suaminya manager terus menganggap semua orang bisa direndahkan begitu saja! Bagaimana kalau pemilik perusahaan memecat suami Ibu? Apakah ada yang masih bisa Bu Minah banggakan?!” teriakanku berhasil menghentikan langkahnya.