Kelak aku mengerti bahwa lautan itu adalah kehidupanku, dasarnya adalah hatiku, dan istana yang maha gemilang cemerlang itu adalah nisan ibu yang selalu menyalakan kenangan-kenangan yang maha kurindukan sepanjang hayatku.
Aku pun berkata kepada ibuku, rasa sayangku tak tertampungkan oleh lema apa pun yang pernah dikenal sejarah kata-kata. Kata-kata terlalu dangkal dan kerdil untuk menuturkan perihal kedalaman rasa dan perasaan. Biar kunikmati saja, selamanya, dalam rupa kenangan-kenangan di kepala dan dada, yang begitu jauh sekaligus dekat, begitu samar sekaligus terang, begitu nyalang sekaligus gamang, begitu tawa sekaligus tangis.
Ibu juga pernah berkisah tentang bintang-bintang, laut-laut, dan jalan-jalan kehidupan yang amat panjang tak tepermanai pada suatu malam saat aku demam. Sejak saat itu aku lantas menjadi kerap merindukan demam demi mendengarkan lagi, lagi, dan lagi bisikan-bisikannya yang abadi.
Kusebut ini sebuah novel, bukan sekadar cerita. Kusebut ini sebuah cinta, bukan sekadar kisah. Kusebut ini sebuah kehidupan, bukan sekadar sejarah.