Rerasan adalah tokoh sentral dalam buku ini yang berpembawaan tenang dan selalu berusaha menghidupkan semangat bela rasa pada sesama. Semangatnya yang semakin hari kian langka dijumpai dan dirasakan karena kita tengah dijangkiti krisis keteladanan. Sebagian besar pemimpin yang dipilih rakyat bukannya memberikan contoh yang mulia, namun malah bersikap pongah, serakah, dan mendewakan meteri sebagai berkah. Segala ekspresi kebahagiaan, kegelisahaan, dan rasa syukur Monsieur Rerasan dituangkannya dalam torehan tulisan yang kemudian dikumpulkan dalam buku terbitan Galangpress ini.
Kumpulan tulisannya sangatlah inspiratif. Boleh dibilang, gaya penuturan Monsieur Rerasan benar-benar ringan. Layaknya, wong cilik atau rakyat jelata menyuarakan suara hatinya yang tercekat akibat situasi sosial dan terus menggunungnya harga kebutuhan bahan pokok. Monsieur Rerasan juga rakyat kecil. Ia berdialog dengan orang-orang disekitarnya serta mengajak siapa pun untuk mengasah kepekaan dan membuka "kaca mata kuda" yang entah sadar atau tidak, kita selalu mengenakannya. Banyak nilai-nilai kearifan yang bisa dipetik dari kumpulan coretan pena Monsieur Rerasan ini. Salah satunya, ia menggugah kita supaya jangan terjebak dalam perilaku mau menang sendiri dan memntingkan diri sendiri. Dengan gayanya yang kalem, ia berujar, "Setiap orang juga dikomando dengan aba-aba, tetapi komando itu nurani namanya. Nurani membisik untuk bisa melihat bahwa perbedaan adalah kenyataan hidup yang paling konkret."
Nah permasahannya, apakah kita sudah menjadi manusia yang bernurani dengan menghargai perbedaan ataukah kita justru menjadi manusia bertirani yang meniadakan perbedaan?