Puisi adalah mata beku diri kita sendiri. Ia mendedahkan segala pengalamannya untuk dirasai lagi dan ketika terjebak di dalamnya kita akan bersedih, senang, rindu, merasa ada jalan di belakang punggung kita yang menawarkan pelbagai plot kehidupan. Ia dapat dicomot dari segala sudut dari semua situasi. Ia tenggelam, timbul, dikejar-kejar, melayang, burung gereja di waktu pagi, merah merkuri malam, payung yang tampak dari atas, lalu lalang manusia, gerak purba epithumia, senyum perempuan, suara gergaji, sirine ambulans, bau sekam terbakar, uap tebu yang direbus, Tuhan di mana-mana atau tidak sama sekali, melebar, pecah, tertusuk, tertekuk—ia adalah segalanya.Tapi tak bisa dipungkiri, seseorang yang menulis atau berkutat dengan puisi, adalah penggelisah nan murung nomor satu di dunia. Bagi yang begitu serius, kalau tidak mati di tangan sendiri, jalan terakhirnya adalah gila. Bayangkan saja, di hamparan melankoli dan sengatan masa, kita berjalan meniti benang sempit hidup, dan terus-menerus menuliskannya. Sampai di titik ini, bagi saya menulis adalah usaha mencegah gila. Aktivitas ini membuat saya bisa fokus pada tulisan dan tak perlu melamun sampai jauh untuk kecemplung pada kematian.
Bagus Dwi Hananto