-> -> bit.ly/andini-citras <- <-
*
Keunggulan Ebook ini:
- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab
- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia
- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar
- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera
- Bisa ganti jenis font
- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam
----------
Contents
Bercumbu dengan Pak Kosim—1
Tak Kuasa Membendung Syahwat —23
Menghubungi Orang Pintar—33
Menikmati Kenikmatan Dipasang Paku Bumi —51
Membuktikan Keampuhan Paku Bumi—73
Harus Lima kali Terpuaskan—101
Kehormatanku Sudah Tidak Ada Artinya Lagi—147
*
Sinopsis
Surti curiga peristiwa aneh beberapakali ia menghampiri Kosim ditengah malam untuk melepaskan hasrat liar syahwatnya bukanlah kejadian didalam mimpi, karena keesokan harinya wanita cantik berusia 29 tahun ini masih melihat ada sisa cairan pria dipangkal pahanya. Hingga akhirnya ia mempunyai cara yang membuatnya yakin itu semua bukanlah mimpi.
Kini ia mendatangi orang pintar, dan meminta pertolongan. Ritual aneh pun dilakukan untuk memerangi gendam yang dilancarkan pihak Kosim, ritual yang mengharuskan Surti merasakan klimaks berkali-kali lewat kegagahan rudal orang pintar itu.
*
Pratinjau
Berikut ini adalah kisah hidupku yang penuh dilumuri hawa nafsu. Gara-gara menghindari guna-guna majikanku, aku malah terjerumus jadi pemuas nafsu mbah dukun.
Sejak suamiku meninggal karena sakit pada akhir Oktober 2014, aku tinggal di rumah sendirian. Kedua anak kami, Basuki dan Nina, telah dua tahun ini bekerja di Jakarta setelah lulus SMA-nya. Sewaktu ayahnya meninggal, praktis mereka hanya satu minggu tinggal di rumah menemaniku. Setelah itu mereka harus kembali bekerja karena izin cutinya habis. Ya, bagaimana pun kesedihan tak boleh berlarut-larut. Satu minggu cukuplah sudah menangisi kepergian orang yang sangat kami cintai itu. Selanjutnya kami kembali harus berjuang mempertahankan hidup, mengisi perut.
Kami tergolong keluarga kurang mampu. Suamiku yang bekerja sebagai makelar tidak setiap hari membawa hasil. Ia jadi makelar apa saja. Dari sepeda motor, mobil, rumah, tanah bahkan kalau perlu jual sepeda sekalipun. Prinsipnya, yang penting halal dan menghasilkan. Aku kagum oleh semangat kerja dan keuletannya. Dan hasilnya tidak mengecewakan, terbukti dengan berhasilnya kedua anak kami menyelesaikan studi di SMA. Tidak sia-sia hasil jerih payah suamiku yang hanya lulusan SMP itu. Aku, yang SMP pun tidak lulus, hanya mendukungnya dengan sepandai mungkin mengatur keuangan keluarga sejak kami menikah sekitar 20 tahun yang lalu.
Waktu naik ke pelaminan, usiaku masih 18 tahun, sedangkan suami sudah 25 tahun. Sementara itu, aku sendiri juga tidak mau diam menganggur di rumah. Aku jadi buruh cuci pada keluarga-keluarga yang memerlukan. Kadang cucian kubawa ke rumah, tidak jarang pula aku harus mencuci di rumah pelangganku. Gabungan penghasilan kami cukuplah untuk kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan Basuki dan Nina meski hanya sampai SMA. Bersyukur pula kami dikaruniai dua anak yang penuh pengertian. Yang tidak menuntut studi terlalu tinggi mengingat ketiadaan biaya.
“Kami akan bekerja dulu mengumpulkan uang, Bu.
Nanti kalau ingin kuliah akan kami biayai sendiri,” kata kedua anakku membuat hatiku terharu sewaktu melepas keberangkatan mereka bekerja di Tangerang. Basuki bekerja menjadi buruh pabrik sepatu, sementara Nina yang dijemputnya setelah lulus SMA tahun berikutnya bekerja jadi karyawati di salah satu supermarket. Untuk menghemat biaya mereka tinggal di satu kamar kos kecil di perkampungan Tangerang yang sewanya 350 ribu rupiah per bulan. Bila ada rezeki dan waktu senggang mereka jalan-jalan ke Jakarta yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Suatu malam, beberapa minggu setelah peringatan seratus hari meninggalnya suamiku, mendadak aku terbangun dari tidur. Udara kurasakan panas sekali saat itu. Padahal jam weaker waktu itu baru menunjukkan pukul satu dini hari lewat beberapa menit, namun panasnya serasa kalau kita berdiri di jalan raya pukul 12 siang. Keringatku memgalir deras di seluruh tubuh. Daster tidurku rasanya sudah basah kuyup dan bisa diperas. Meski aku tinggal di perkampungan padat penduduk, tapi tidak pernah udaranya sepanas ini. Terpaksa daster kulepas dan kukeringkan tubuhku dengan handuk sebelum mengenakan daster baru. Namun sebentar saja tubuhku sudah basah lagi oleh keringat.
Jendela kamar kubuka supaya udara masuk. Ini pun tidak menolong, karena rumahku yang kecil berada di sela-sela rumah besar lainnya yang bertembok rapat. Tidak banyak angin yang masuk melalui jendela. Akhirnya, setelah jendela kututup kembali, kuputuskan keluar rumah. Kututup pintu perlahan di belakangku tanpa menguncinya.
Kuperhatikan sekitar, malu kalau ketahuan malam-malam seperti ini keluar rumah karena aku wanita.
Mendadak, seperti ada yang menarikku, kakiku melangkah meninggalkan rumah. Aku yang semula hanya ingin berangin-angin di depan rumah tidak kuasa menahan kakiku yang berjalan dan terus berjalan melewati jalan-jalan kecil berkelok-kelok. Beberapa rumah tetangga sudah terlewati. Hatiku menyatakan ingin berhenti dan pulang ke rumah, namun pikiranku seperti kosong dan terus mengikuti ke mana kaki melangkah. Akhirnya setelah beberapa puluh meter berjalan, aku sampai di depan rumah Pak Kosim, pria berusia 50 tahunan. Selama ini keluarganya juga menyuruhku membantu mencuci pakaian.
Tidak lama aku berdiri, pintu rumah Pak Kosim terbuka dan nampak pria itu menyambut kedatanganku. “Silakan masuk Surti,” langsung saja Pak Kosim mempersilakanku masuk ke rumahnya. Entah kenapa, aku pun tidak canggung lagi melangkah masuk. Setelah menutup dan mengunci pintu, Pak Kosim menuntunku ke dalam. Kemudian aku tahu, karena sudah sering memasuki rumah ini, bahwa kami sedang menuju ke kamar Pak Kosim. Pintu kamar dibuka dan di dalamnya kosong. “Ke mana Bu Kosim?” hatiku bertanya. Gilanya aku menurut saja ketika tanganku ditarik Pak Kosim memasuki kamar itu dan dibimbingnya ke tempat tidur.
“Ini diminum dulu, Sur.” Entah kapan dibuat, ternyata di kamarnya sudah tersedia segelas air teh yang sepertinya memang disediakan untukku. Aku yang kepanasan segera meminumnya habis.
“Tolong pijiti aku, Sur,” pinta Pak Kosim lalu membuka kaos yang dikenakan dan merebahkan diri ke ranjang. Seperti terhipnotis, aku yang seumur hidup belum pernah memijati orang lain selain suamiku, segera saja melaksanakan perintah itu. Gila! Mulutku pun rasanya kelu untuk berkata-kata menanyakan kejanggalan ini. Sementara tanganku terus sibuk memijat.
“Kamu kepanasan ya, Sur? Keringatmu sampai keluar banyak sekali?” Pak Kosim melihatku sambil membalik tubuhnya jadi telentang.
Aku hanya mengangguk. Tubuhku memang rasanya bertambah panas saja. “Buka saja dastermu kalau panas..” ucapnya lagi sambil bangkit dan berupaya membantuku membuka daster. Herannya, aku yang tetap yakin ada yang tidak beres, tidak menolaknya.
Malahan diam saja ketika Pak Kosim tidak hanya membuka dasterku, namun juga seluruh yang melekat di tubuhku. Lalu membaringkanku ke ranjangnya, dan ganti dia yang memijatiku. Sebentar kemudian kurasakan tubuhku sudah digelutinya.
“Ini perzinahan!” teriak bathinku. Tapi lagi-lagi semua nuraniku melayang entah ke mana. Tambahan lagi aku yang sudah berbulan-bulan “puasa” dari nafkah batin mendadak merasakan desakan kebutuhan itu meletup-letup. Seperti kesetanan aku pun melayani kegilaan Pak Kosim. Tubuh kami pun segera mandi keringat.
Aku tersadar ketika tubuhku digoyang-goyangkan. “Bangun, Mbak. Bangun..!” samar-samar kudengar suara beberapa orang. Geragapan aku terbangun dan betapa kaget mendapati diri tergeletak di pinggir jalan di bawah pohon besar. Beberapa penduduk yang tugas ronda menemukanku tertidur di situ sekitar pukul empat pagi.
“Ini Mbak Surti, kan? Kenapa tidur di sini?” tanya mereka.
“Ak.. aku sendiri juga tidak tahu,” sahutku bingung. “Mbak dari bepergian ya?” tanya seseorang.
“Ti.. tidak,” jawabku. Aku masih nanar, dan tidak begitu yakin apakah pengalamanku dengan Pak Kosim itu kenyataan atau bukan. “Tadi aku tidur di rumah,” sambungku.
“Jangan-jangan..,” bisik yang lain, “Mbak Surti dipindahkan setan penunggu pohon ini! Katanya pohon ini memang agak angker.” Aku jadi merinding mendengarnya. Meski begitu aku diam saja. Demikian juga ketika mereka mengantarku ke rumah. Aku tetap bungkam, dan tidak hendak menceritakan pengalamanku tadi. Pertimbanganku, kalau kejadian yang kualami tadi hanya mimpi, pasti aku akan ditertawakan. Sebaliknya kalau sungguh-sungguh terjadi aku akan lebih malu lagi.