Duka Umat dan Bangsa (Umul Hazn)

Kalimat inna lillahi wa inna ilayhi raji’un sekarang ini sangat sering meluncur dari lidah kita. Kita mendengar berita kematian setiap saat. Saudara, handai tolan, tetangga hingga orang yang tidak kita kenal. Kabar datang melalui medis sosial, telepon, televisi dan media lainnya. Setiap hari hampir 900 orang meninggal sehingga total hingga 12 Juli lalu mecapai 67.355 orang dan lebih 1.000 tenaga kesehatan.

Covid-19 telah menggeleparkan sekitar 2,19 juta jiwa sejak ia menyerang kita lebih setahun. Korbannya tidak pandang bulu. Dokter yang selama ini berjibaku menyelamatkan pasien juga terkena dan menjadi korban. Pejabat, pengusaha, bahkan juga ulama juga tercatat sebagai korbannya. Bahkan, yang lebih menyesakkan dada kita adalah kematian ulama yang sudah mencapai 500 orang lebih.

Kita baru saja melepas sedih KH Nawawi Abdul Jalil, Penghasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Belum kering air mata kita kita ditinggal Gurutta Dr. Muhamamd Sanusi Baco. Belum hilang sembab mata kita mendapat kabar wafatnya KH Zainuddin Jazuli, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Berderet nama bermunculan sejak Covid-19 meneror kita. Sejumlah ulama yang memiliki kedekatan kepada Allah akhir-akhir ini.

Teror Covid-19 tidak bisa kita pungkiri. Hingga Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dalam silaturrahmi virtual dengan para ulama hari Senin, 12 Juli lalu menyatakan keprihatinan itu. Ia menyebut kondisi kita yang sangat genting karena Covid-19. Ia mengajak para ulama untuk bersama-sama pemerintah memerangi Covid-19. Kondisi seperti ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi dan memerlukan perhatian seksama semua pihak dan menjadi kewajiban kita semua.

Data MUI menyebut, ulama yang wafat dalam suasana Covid-19 ini lebih dari 541 orang, 451 laki-laki dan 90 perempuan. “Ini juga merupakan kehilangan besar. Mencetak ulama itu tidak gampang, tidak mudah," ungkap Kiai Ma’ruf.

Data jumlah ulama yang wafat itu dikemukakan wakil Sekjen MUI KH. A. Ghaffar Rozin yang juga ketua asosiasi pesantren NU atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU). Banyak ulama yang meninggal sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, setelah diputuskan sebagai pandemi Maret tahun lalu, khususnya ulama yang berusia lanjut.

RMI mencatat, hingga akhir tahun lalu sebanyak 333 kiai NU meninggal dunia terhitung sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan pada Maret 2020. Jumlah itu terdiri dari 286 ulama laki-laki dan 47 ulama perempuan. RMI tidak bisa memastikan semuanya meninggal karena Covid-19. Masih ada ulama yang meninggal yang tidak terdata, dan juga di luar NU.

Kematian ulama berdasarkan data RMI NU meningkat signifikan dibandingkan 2019 yang tak lebih dari 50 orang. RMI mencatat pada 2020 di bulan Februari sebanyak empat orang. Maret-Juni ada 37 ulama meninggal. Juli sebanyak 23 orang. Agustus 41 orang, September 90 orang, November 187 orang, Desember 253 orang, dan pada Januari tercatat total 333 ulama meninggal. Sementara Kementerian Agama Desember 2020 lalu melansir sekitar 6.000 santri di 81 pesantren tertular Covid-19. Dahsyat.

Lidah kita kelu tak mampu lagi berkata tentang kematian ulama. Ulama selama ini kita kenal sebagai pelita kehidupan. Para ulama adalah pemandu dan panutan umat. Ilmu yang dimiliki ulama belum semuanya ditularkan kepada murid, keluarga dan masyarakat sehingga ikut terkubur pula ilmu-ilmu berharga itu.

Hal ini mengingatkan kita pada sebuah hadis: “Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi!” Sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah SA menjawab,“Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)”

Rasulullah bersabda: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani)

Mari, sayangi ulama kita dengan cara menjaga protokol kesehatan dan mematuhi pemerintah.